Palangka Raya, JurnalBorneo.co.id – Senin (3/7/2023) pukul 14.00 WIB menjadi hari membahagiakan bagi pasangan suami istri (pasutri) Tri Waluyo dan Nana Nurdiana. Bagaimana tidak? Hari itu telah lahir anak pertama mereka yang berjenis kelamin laki-laki meski dengan operasi sesar di RSUD Pulang Pisau.
Saat lahir, putra pertama pasutri ini memiliki berat badan 2160 gram dengan panjang badan 50 cm dan lingkar kepala 34 cm. Kondisi itu membuat si bayi mesti dimasukkan ke inkubator untuk perawatan khusus.
Dua hari kemudian, si bayi dan ibunya diperbolehkan pulang ke rumah di Jalan Tawes V RT 011 RW 004 Kelurahan Pangkoh Sari Kecamatan Pandih Batu Kabupaten Pulang Pisau. Sayangnya, pada malam harinya si bayi mengalami demam tinggi bahkan kejang-kejang sampai susah bernafas.
Pagi harinya, si bayi segera dibawa ke Puskesmas terdekat namun pihak Puskesmas menyarankan agar si bayi dirujuk ke RSUD Pulang Pisau, tempat si bayi dilahirkan.
Dengan hati penuh cemas, pasutri ini didampingi nenek tercinta dan keluarga membawa putranya ke RSUD Pulang Pisau dan dirawat sejak 6-11 Juli 2023.
Pada 12 Juli 2023, pasutri ini dipanggil oleh pihak RSUD Pulang Pisau yang menyarankan agar si bayi dirujuk ke RSUD Doris Sylvanus di Palangka Raya. Sebabnya, kondisi kesehatan si bayi perlu ditangani lebih serius dengan fasilitas yang lebih baik. Saat itu terlihat kaki kiri si bayi mulai jari-jari sampai mata kaki bengkak dan berwarna biru.
Secepatnya, pasutri ini membawa bayinya ke RSUD Doris Sylvanus di Palangka Raya untuk mendapatkan pertolongan medis dan dirawat inap sampai 14 hari yakni dari 12 sampai 26 Juli 2023.
Apa mau dikata, perawatan medis yang diharapkan dapat membuat si bayi pulih dan sehat kembali, hasilnya tidak sebagaimana yang diinginkan. Si bayi mesti kehilangan kaki kiri di mana dari mata kaki sampai jari harus diamputasi demi menyelamatkan nyawanya pada 26 Juli 2023.
Kejadian ini memantik kekecewaan dan duka mendalam terutama orang tua si bayi. Keluarga merasa keberatan dan menduga telah terjadi malapraktik yang dilakukan oleh pihak RSUD Pulang Pisau. Malapraktik yakni praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, dan menyalahi undang-undang atau kode etik.
Melalui penasihat hukumnya yang terdiri dari Wilson Sianturi, SH, Sukri Gazali, SH, dan Benny Pakpahan, SH membawa kasus dugaan malapraktik itu ke ranah hukum. Laporan pun dilayangkan ke Polda Kalteng pada 15 Agustus 2023.
Mereka menduga terjadi tindak pidana berupa kelalaian yang diduga dilakukan oleh dokter dan perawat RSUD Pulang Pisau sebagaimana diatur pada Pasal 46 ayat (1), Pasal 51 dan Pasal 52 hruf e junto Pasal 79 huruf b dan c UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran junto Pasal 360 KUHPidana.
“Mengapa bayi dengan gejala gangguan pernapasan berujung kaki yang membiru dan akhirnya diamputasi?,” tanya Benny yang diiyakan dua rekannya kepada para wartawan di Palangka Raya, Rabu (16/8/2023).
Gazali menyoroti sikap RSUD Pulang Pisau yang mempersulit keluarga mendapatkan rekam medis si bayi. Surat permohonan agar diberikan data rekam medis yang diajukan pada 10 Agustus 2023 ditolak.
“Pihak keluarga akan juga melaporkan kejadian tersebut ke Majelis Kehormatan Disiplin Ikatan Dokter Indonesia (IDI) guna menguji apakah telah terjadi pelanggaran kode etik dalam penanganan pasien dalam kasus ini,” ucapnya.
Menjawab persoalan itu, pihak RSUD Pulang Pisau pun menggelar jumpa pers yang dilaksanakan di ruang rapat manajemen RSUD Pulang Pisau, Selasa (22/8/2023) siang.
Hadir mewakili Direktur RSUD Pulang Pisau dr. Mulyanto Budihardjo adalah dr. Yulia Kurniawati selaku Kepala Bidang Pelayanan Medik, dr. Munawar Latif, Sp.PD selaku Ketua Komite Medik RSUD Pulang Pisau, dr. Franky Luhulima, M.Sc., Sp.A (dokter anak) dan dr. I Gusti Nugrah Ari Aditya Satriya Wibawa, Sp.B (dokter bedah).
Yulia menjelaskan, si bayi dan orang tuanya tiba di IGD Poliklinik RSUD Pulang Pisau pada 6 Juli 2023 dengan kondisi sesak nafas, hal itu sesuai rujukan Puskesmas. Selanjutnya ditegaskan diagnosis di IGD adalah Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) atau sindrom gangguan pernapasan akut.
Saat itu diketahui juga Saturasi Oksigen Darah (SpO2) atau persentase hemoglobin dalam darah yang mengandung oksigen si bayi 80%, angka itu di bawah batas normal sebesar 95%. Kondisi ini yang menyebabkan sesak, dokter mencurigai adanya infeksi.
Selanjutnya si bayi sebagai pasien dimasukkan ke ruang High Care Unit (ruang perawatan khusus bayi). Ruangan ini steril sehingga tidak semua keluarga pasien bisa masuk, hanya orang tua kandung si bayi yang dibolehkan.
Setelah dirawat didapatkan beberapa tanda kegawatan seperti bayi sempat kejang dan pada selang OGT (Orofaringeal Gastritic Tube) terdapat cairan berwarna coklat, SpO2 80% dan pada hari ke-4 perawatan, kondisi bayi mengeras.
Puncaknya, setelah dikonsultasikan dengan dokter bedah yang ada di RSUD Pulang Pisau, didapatkan kemungkinan terjadi Acute Limb Ischemia (ALI) yang merupakan suatu kondisi gawat darurat dimana terdapat sumbatan pembuluh darah pada anggota tubuh yang menyebabkan kapasitas pertukaran oksigen jaringan turun secara drastis dalam waktu cepat.
“Karena tidak bisa dirawat di RSUD ini, kami tidak punya sarana prasarana untuk merawat akhirnya dirujuk ke RSUD Doris Sylvanus,” tutur Yulia.
Sewaktu pihaknya mengkonfirmasi rujukan itu, pihak RSUD Doris Sylvanus meminta agar ada penanganan dulu kepada pasien. Oleh karena itu, si bayi kemudian diberikan obat pengencer darah Hefarin dan dipastikan kondisi bayi aman selama dirujuk baru kami lakukan rujukan. Dia menyebut hampir 6 jam kemudian baru bayi berangkat menuju RSUD Doris Sylvanus.
Sehubungan sulitnya keluarga si bayi mendapatkan rekam medis, dia mengatakan untuk rekam medis atau istilahnya pelepasan informasi tidak boleh sembarangan diberikan. Hal itu sesuai dengan Permenkes Nomor 24/2022 tentang Rekam Medis.
“Rekam medis merupakan kerahasian pasien. Memang isi rekam medis milik pasien tapi dokumen rekam medisnya milik RSUD Pulang Pisau. Dokumen lengkap rekam medis harus permintaan pengadilan. Hanya resume atau ringkasan medis yang bisa diberikan,” sebutnya.
Munawar Latif menerangkan ALI pada organ tubuh seperti tangan atau kaki terjadi kekurangan oksigen atau sama sekali tidak mendapat oksigen. Penyebabnya karena aliran darah yang terputus atau tersumbat (tidak dapat berjalan semestinya) ke tangan atau kaki sehingga menyebabkan jaringannya bisa mati.
Si bayi masuk dalam kondisi yang berat yang dikenal dengan nama Sepsis yakni infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Jika sesorang terkena Sepsis maka darah jadi mudah menggumpal.
“Nah gumpalan darah itu yang terlepas dan pergi ke suatu tempat. Kebetulan dalam kasus ini tempatnya ke kaki. Tersumbat darah arteri di kaki sehingga menyebabkan jaringannya mati. Itu yang disebut ALI,” terangnya.
Singkat kata, sambung dia, apa yang terjadi pada pasien yaitu ALI merupakan komplikasi dari penyakit Sepsisnya bukan akibat tindakan yang diberikan.
Munawar menerangkan, ALI memiliki 4 stadium mulai yang paling ringan sampai berat yakni stadium I, IIA, IIB dan stadium III. Pada stadium I cukup diberi obat, IIA dan IIB dioperasi membuka pembuluh darahnya dan stadium III harus diamputasi.
“Dari RSUD Pulang Pisau pasien berada pada stadium IIA karena masih pucat dan birunya hanya di ujung jari. Apa yang terjadi selama pasien di RSUD Doris Sylvanus, kami tidak berani komentar,” ujarnya.
Di tempat yang sama dr. Franky membeberkan pada bayi kecil atau bayi ada namanya Sepsis Neonatus terdiri Sepsis Neonatus Awitan Dini dan Sepsis Neonatus Awitan Lamban. Sepsis Neonatus Awitan Dini akan timbul gejala dalam 72 jam pertama yang terjadi pada proses kelahiran seperti proses infeksi di ari-ari bayi, ibunya.
Tapi bila lebih dari 72 jam, faktor penyebab infeksinya adalah faktor lingkungan. Pihak RSUD Pulang Pisau merawat si bayi dan ibu mulai kelahiran selama 3 hari setelah itu diizinkan pulang. Satu hari si bayi demam dan sesak.
Dikatakannya, dari observasi perawat yang menjaga sampai 1 jam sebelum kejadian membiru, kondisi kaki masih merah pada Senin (10/7/2023) siang. Sewaktu diketemukan pucat (biru) kebetulan terpasang infus lalu infus dilepas dan diberikan tata laksana untuk mengetahui/menganggap apakah itu akibat infus atau bukan.
Dalam observasi itu diberikan salep di kaki untuk lukanya. Biasanya menurut literatur, jika diobservasi 10-12 jam kaki yang pucat akan memerah lagi. Namun sampai besok harinya atau 18 jam observasi ternyata kakinya tidak jua memerah kembali.
“Dari konsultasi dengan dokter bedah maka dalam waktu 24 jam kemudian diputuskan si bayi untuk dirujuk. Alasannya karena fasilitas yang ada di RSUD Pulang Pisau tidak mampu menegakkan diagnosanya benar untuk menterapi,” kata Franky.
Perkataan Franky dibenarkan dr. I Gusti Nugrah Ari Aditya Satriya Wibawa. Menurutnya, ketika kaki mulai membiru atau pucat sebenarnya harus dilakukan pengenceran darah tapi tidak bisa dilakukan karena rumah sakit tidak punya alat untuk mengontrol.
Sewaktu diberi pengencer darah harus ada laboratorium yang bisa mengontrol seberapa encer darah yang diinginkan. Bila terlalu encer berakibat bisa menyebabkan stroke dan pendarahan di mana-mana seperti kencing darah.
Dia mengibaratkan sumbatan yang terjadi seperti sumbatan/mampet pada selokan air. Supaya sumbatan selokan hilang maka menggunakan dua cara yakni ambil sumbatannya atau diencerkan airnya.
“Selaku dokter bedah ketika sy tau itu ALI, saya langsung telpon dr. Franky dan menyarankan keluarga bahwa pasien harus segera dirujuk karena kami tidak punya fasilitas yang memadai untuk menterapi dan menegakkan diagnosis lebih pasti,” katanya.
Dia mengakui kejadian ALI pada bayi merupakan peristiwa langka atau sangat jarang terjadi bahkan hampir tak pernah. Dia menyebut hanya tiga kasus yang terjadi di dunia, dari jurnal baru ada pada 1977 dan baru terjadi lagi pada 2016.
“Wajar memang keluarga menganggap itu malapraktik,” katanya.
“Secara logika orang awam masa sih infeksinya di paru-paru, yang diamputasi kakinya. Itulah versi mereka. Kami bisa memaklumi keluarga si bayi pasti sedih, siapa sih keluarga yang tidak sedih kalau anaknya begitu. Mereka pasti memikirkan lho kok begini pengobatannya tetapi seperti dr. Yulia sampaikan bahwa yang kami lakukan sudah maksimal sesuai SOP,” timpal Munawar..
Di akhir jumpa pers, dr. Yulia menyampaikan pihaknya menunggu perkembangan kasusnya seperti apa. Yang pasti pihaknya telah melakukan semua tindakan sesuai prosedur dan upaya semaksimalnya untuk menyelamatkan pasien. Meski demikian, dirinya ikut prihatin terhadap kondisi si bayi. Dia mengharapkan peristiwa ini bisa diselesaikan secara damai.
“Kami keinginannya damai, proses damainya seperti apa, bukan kami yang memutuskan. Mungkin pak direktur yang lebih menginikan bagaimana untuk bisa memediasi kasus ini,” pungkas Yulia. (fer)