SAMPIT, JurnalBorneo.co.id — Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, membahas secara rinci laporan pertanggungjawaban keuangan 2021 meski telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia.
“Walaupun mendapat opini WTP (wajar tanpa pengecualian) dari BPK, tapi pembahasan ini tetap penting. Tugas kami di DPRD mengawasi pelaksanaan pembangunan dan keuangannya,” kata Wakil Ketua I DPRD Kotawaringin Timur, Rudianur di Sampit, Senin (27/6/2022).
Rudianur bersama Wakil Ketua II DPRD Hairis Salamad memimpin rapat gabungan legislatif dan eksekutif membahas rancangan peraturan daerah Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD tahun anggaran 2021.
Bupati Halikinnor dalam pidato pengantar laporan pertanggungjawaban anggaran 2021 dalam rapat paripurna di DPRD setempat, Senin (20/6). Halikinnor juga menyampaikan bahwa laporan keuangan Kotawaringin Timur 2021 mendapat opini WTP dari BPK RI.
Menurut Rudianur, banyak hal yang disoroti anggota DPRD terkait pertanggungjawaban keuangan tersebut. Meski secara administrasi dinyatakan telah sesuai aturan oleh BPK, namun ada hal-hal yang perlu menjadi perhatian, seperti dalam hal belum maksimalnya peningkatan pendapatan, serapan anggaran, kegiatan yang ditunda hingga besarnya sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa).
“Salah satunya besarnya anggaran Rp389 juta dana BOS yang tidak terserap. Kenapa? Selama ini diperlukan, padahal sangat dibutuhkan dan itu untuk operasional sekolah, tapi kenapa tidak terserap,” ujar Rudianur.
Sebelumnya Wakil Bupati Irawati dalam rapat paripurna menjelaskan bahwa besarnya Silpa karena kondisi yang membuat program tidak bisa dilaksanakan sesuai rencana.
“Nilai Silpa itu sebagian besar adalah sisa kegiatan DAK fisik, DAK nonfisik, DBH dana reboisasi serta saldo dana BLUD, dana BOS dan JKN yang mencapai Rp105.870.352.089,” jelas Irawati.
Dia menambahkan, secara umum total realisasi pendapatan tahun lalu lebih besar dari realisasi penerimaan pada 2020. Ada kenaikan sebesar Rp261.679.884.403, namun demikian ada pendapatan asli daerah berupa BPHTB yang mengalami penurunan jika dibandingkan dengan anggarannya.
Irawati menambahkan, untuk belanja daerah jika dibandingkan pada 2020 mengalami peningkatan sebesar Rp122.184.258.937, tetapi jika dibandingkan dengan penganggarannya hanya mencapai realisasi 90,36 persen.
Selama 2021 ada beberapa program kegiatan yang sudah dilaksanakan tetapi sampai 31 Desember 2021 belum dibayarkan. Selain itu pembayaran dari kementerian yang informasi atau pencairannya di akhir periode dan terlambat dilakukan penyesuaian di perubahan APBD.
“Hal ini mengakibatkan tidak terserapnya penganggaran tersebut. Ini berdampak terhadap peningkatan Silpa dan pengakuan kewajiban atau hutang pemda kepada pihak ketiga yang telah disajikan dalam laporan keuangan tahun anggaran 2021 sebesar Rp149.814.023.135,” demikian Irawati. (an/red)