JAKARTA, JurnalBorneo.co.id – Jaksa Agung RI, Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M., memberikan arahan kepada 459 calon Jaksa yang sedang mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan LXXVIII (78) Tahun 2021 secara virtual dari ruang kerja Jaksa Agung di Gedung Menara Kartika Adhyaksa Kebayoran Baru Jakarta, Kamis (2/12/2021).
Hadir dalam ceramah tersebut yaitu Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI Tony T. Spontana, SH. M.Hum, Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Para Kapus, Para Pengajar dan Widyaiswara, dan Para Peserta PPPJ Angkatan LXXVIII (78).
Beberapa arahan penting Jaksa Agung terkait melakukan perubahan fundamental karakter seorang Jaksa, antara lain sebagai berikut:
Mengenai Tujuan Diklat PPPJ, adalah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan membekali para siswa sehingga dapat menjadi jaksa yang handal, selain itu juga membangun jiwa korsa dan kedisiplinan para peserta didik, sehingga akan tertanam rasa senasib sepenanggungan, solidaritas, semangat persatuan dan kesatuan terhadap institusi dari dalam diri para siswa.
Jaksa Agung mengatakan, jiwa korsa harus ditekankan dan dimiliki mengingat sebagian besar tugas yang akan saudara emban nanti setelah menjadi jaksa adalah tugas-tugas yang bersifat team work, dimana keberhasilan pelaksanaan tugas akan sangat tergantung oleh soliditas yang terbangun dalam tim tersebut. Oleh karena itu Jaksa Agung sangat berharap nanti setelah para peserta dilantik menjadi Jaksa bisa segera melebur dan bersinergi dengan para senior.
Dalam kesempatan ini juga Jaksa Agung ingin mengingatkan bahwa selama bertugas di Kejaksaan, para calon Jaksa:
-Tidak bisa memilih dimana akan ditugaskan dan tugas apa yang dikerjakan;
-Tidak bisa memilih siapa atasan saudara;
-Tidak bisa memilih siapa anak buah saudara; dan
-Tidak bisa memilih siapa mitra kerja saudara.
“Yang bisa saudara lakukan hanyalah segera beradaptasi dengan pimpinan, bawahan, dan mitra kerja dimana saudara ditugaskan, serta menempa diri menambah pengetahuan untuk menyelesaikan tugas jaksa yang sangat dinamis. Kegagalan saudara berkolaborasi dengan kolega dalam tim akan sangat berpengaruh pada kinerja Kejaksaan secara keseluruhan,” ujar Jaksa Agung.
Terkait Visi dan Misi, Jaksa Agung menyampaikan, ketika nanti dilantik sebagai Jaksa, agar memahami visi dan misi Kejaksaan, karena dari sana akan diketahui arah garis kebijakan penegakan hukum dan politik penegakan hukum Kejaksaan.
“Pentingnya pemahaman terhadap visi dan misi Kejaksaan akan membantu setiap Jaksa menata langkah, dan bergerak pada koridor yang tepat menuju arah yang dikehendaki oleh pimpinan. Diantaranya adalah menyukseskan tujuh Program Kerja Prioritas Kejaksaan RI Tahun 2021, dan tujuh Perintah Harian Jaksa Agung Tahun 2021. Pahami betul visi misi dan implementasikan dalam pelaksanaan tugas,” ujar Jaksa Agung.
Mengenai Transformasi, Jaksa Agung menyampaikan PPPJ merupakan candradimuka bagi setiap calon jaksa untuk mempersiapkan, membentuk, dan memastikan siswa dapat bertransformasi menjadi jaksa, dimana bagi yang lulus dari proses pendidikan tersebut akan mengalami perubahan status dari seorang staff tata usaha menjadi pejabat fungsional Jaksa.
Perubahan tersebut tentunya bukan sekedar perubahan status semata, melainkan juga adanya atribut yang akan dilekatkan dalam kapasitasnya sebagai seorang Jaksa, yaitu berimplikasi pada perubahan kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab yang melekat karena jabatan, dari seorang staff yang semula tidak memiliki kewenangan apapun dalam penegakkan hukum menjadi seorang Jaksa dengan segenap atribut kewenangan yang sangat menentukan nasib seseorang.
Kedudukan sebagai seorang Jaksa tentunya akan memberi kewenangan untuk merampas kemerdekaan seseorang. Ini tentunya kewenangan-kewenangan yang sangat luar biasa, yang apabila tidak dilengkapi dengan integritas, profesionalitas dan moralitas justru akan menjadikan pribadi yang korup dan zalim.
“Sebagai Jaksa Agung, saya sangat tidak menghendaki penyalahgunaan wewenang, maka gunakan kewenangan saudara secara arif dan bijaksana,” ujar Jaksa Agung.
Selain kewenangan, kewajiban Jaksa juga akan bertambah, seperti kewajiban melaporkan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) setiap tahun. Sebagai Jaksa, harta yang dimiliki akan selalu dipantau oleh negara.
Begitu juga dengan perubahan sikap, dimana sebagai seorang Jaksa harus mampu memposisikan diri dalam keseharian, diantaranya harus selektif untuk berbicara, dan bahkan bergaul pun harus sangat berhati-hati.
Perubahan kedudukan tersebut tentunya harus diikuti oleh perubahan pola pikir, pola kerja, sikap dan perilaku yang berlandaskan pada integritas, dan profesionalitas. Sehingga penyalahgunaan kewenangan dapat dieliminir, disamping itu dengan integritas yang tinggi maka akan memulihkan kepercayaan masyarakat.
Terkait Memahami Peraturan Internal, selain harus menguasai undang-undang, Jaksa Agung menyampaikan juga wajib menguasai petunjuk internal seperti Peraturan Kejaksaan, Instruksi Jaksa Agung, Pedoman, Surat Edaran, Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku, dan petunjuk lainnya.
“Kepatuhan terhadap SOP, Pedoman, Instruksi, dan garis-garis kebijakan pimpinan merupakan suatu keharusan dikarenakan dapat mengeliminir kesalahan administrasi dan kesalahan prosedur, sehingga akan menuntun Jaksa pada keberhasilan pelaksanaan tugas,” ujar Jaksa Agung.
Hal ini sangat penting, sehingga pada saat calon Jaksa dilantik sebagai Jaksa, para calon Jaksa memiliki kepercayaan diri untuk melaksanakan tugas, karena pimpinan telah memberikan instrumen yang lengkap kepada para calon Jaksa sebagai guideline pelaksanaan tugas. Untuk itu taati berbagai aturan telah saya terbitkan untuk menciptakan penegakan hukum yang kondusif dan tidak menimbulkan kegaduhan, tegas Jaksa Agung.
“Saya tegaskan bahwa kegagalan saudara dalam memahami aturan dapat berakibat fatal, dan atribut kewenangan yang ada pada kalian adalah pendelegasian kewenangan dari saya, yang dapat saya cabut sewaktu-waktu manakala saudara saya nilai tidak cakap dalam mengemban tugas dan kewenangan itu,” ujar Jaksa Agung.
Terkait Konsep Jaksa Ideal, Jaksa Agung menyampaikan harus selalu ingat bahwa gerak-gerik kita selaku penegak hukum selalu diawasi oleh masyarakat, dimana sebagai penegak hukum di era digital komunikasi bukan lagi masalah. Setiap orang memegang alat komunikasi, dan alat perekam baik suara ataupun video.
Artinya apapun yang saudara lakukan akan tersebar luas ke masyarakat hanya dalam hitungan detik, dan ingat peradilan yang digelar di media sosial sangat kejam, karena disana tidak ada ruang klarifikasi. Oleh karena itu, saya ingatkan jaga moral dan integritas saudara.
Karena hanya dengan menjaga dua hal tersebut maka sikap dan perilaku saudara pasti akan terkendali, ungkap Jaksa Agung.
“Maka jaga moral dengan integritas yang tinggi agar tidak tercoreng dengan perbuatan tercela sekecil apapun, jangan sampai tergelincir dan menghancurkan kepercayaan publik kepada institusi kita,” ujar Jaksa Agung.
Selanjutnya seorang Jaksa harus memiliki loyalitas, yaitu spirit untuk tetap menjaga kesetiaan yang positif kepada institusi, dengan prinsip dasar bahwa loyalitas tertinggi harus didedikasikan pada halhal yang diyakini sebagai kebenaran. Karena jika loyalitas benar-benar terpatri, maka terjadi satu kesatuan sikap positif di dalam institusi.
Jaksa Agung mengatakan, seorang jaksa juga dituntut untuk memiliki intelektual yang tinggi, sehingga mampu berpikir dan bertindak out of the box ketika menemui kendala yang ada, dan mampu membaca arah serta mengendalikan situasi. Termasuk dalam membaca alur perkara, sehingga tidak terjadi adanya penundaan sidang selain karena alasan teknis.
Selain itu terdapat satu sifat mutlak harus dimiliki oleh seorang Jaksa yaitu profesionalitas, dengan profesionalitas yang prima dalam bekerja, maka penegakan hukum yang saudara jalankan akan berhasil dan tidak menimbulkan kegaduhan, serta sinergitas dengan instansi terkait akan harmonis, tegas Jaksa Agung.
Contoh penegakan hukum yang tidak mencerminkan profesionalitas adalah kasus yang baru-baru ini terjadi di Kejaksaan Negeri Karawang. Dimana kegagalan memahami esensi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPenghapusan KDRT) telah mencederai rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat sehingga menimbulkan kegaduhan.
Kegaduhan yang terjadi dalam penanganan perkara tersebut setidaknya menunjukan bahwa para Jaksa:
-Tidak tunduk dan patuhnya dalam memahami dan melaksanakan pedoman penanganan perkara yang diberikan oleh pimpinan;
-Tidak ada kepekaan hati nurani para Jaksa yang terlihat dari lamanya tuntutan yang dibacakan merupakan wujud dari mengabaikan rasa keadilan masyarakat;
-Tidak profesional, karena terlihat Jaksa telah gagal memahami filosofi dari UU-Penghapusan KDRT, yaitu melindungi kaum perempuan dan anak dari kekerasan dalam rumah tangga.
Oleh karenanya, Integritas, loyalitas, intelektualitas dan profesionalitas sudah sepatutnya menjadi standar minimum setiap jaksa. Kolaborasi sifat tersebut akan menjaga marwah institusi, dan melambungkan kepercayaan publik terhadap institusi kita.
“Dan perlu saya ingatkan, bahwa Saya tidak ragu menindak siapa saja yang melakukan perbuatan tercela atau mengkhianati institusi, termasuk jaksa baru sekalipun,” ujar Jaksa Agung.
Mengenai Kemanfaatan Hukum, Jaksa Agung menyampaikan bahwa menuntut bukan hanya sebatas menghukum orang, namun berat-ringannya suatu hukuman harus berdasarkan rasa keadilan yang berkemanfaatan, dan berpangkal pada hati nurani.
Selain itu, pembuktian bukan hanya fokus kepada pelaku, tetapi juga fokus pada mendudukan barang bukti sesuai fakta persidangan. Sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuntut terhadap orang dan barang bukti, dengan demikian penuntutan yang dilakukan benar-benar tuntas dan bermanfaat, serta keadilan yang ditegakan tidak menimbulkan permasalahan.
“Saudara harus ingat, jangan tempatkan keadilan di Menara gading, karena hanya akan indah dilihat tetapi tidak bermanfaat sama sekali bagi masyarakat. Namun sebaliknya, penegakan hukum harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena hukum ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat, sehingga apabila penegakan hukum dipandang tidak memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, maka itu sama dengan hukum telah kehilangan rohnya,” ujar Jaksa Agung.
Perintah harian Jaksa Agung poin 2 pada peringatan HBA ke-61 jelas menyebutkan Gunakan hati nurani dalam setiap pelaksanaan tugas dan kewenangan. Perintah tersebut harus menjadi landasan berpikir seorang Adhyaksa agar penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya memenuhi nilai kepastian untuk mencapai keadilan, namun juga kemanfaatan dari penerapan hukum itu sendiri untuk mencapai keadilan yang hakiki.
Kalau diperhatikan kasus-kasus seperti nenek Minah dan kakek Samirin menjadi gaduh penanganan perkaranya bukan karena Jaksa atau Hakim telah salah menerapkan hukum, baik hukum pidana maupun hukum acaranya.
Jaksa Agung mengatakan kegaduhan tersebut terjadi karena telah terjadi pergeseran nilai-nilai rasa keadilan masyarakat, sehingga dalam kasus tersebut masyarakat menilai seseorang tidak pantas untuk diadili, bahkan dihukum atas kesalahan yang dilakukan.
“Disinilah kepekaan seorang Jaksa dibutuhkan dalam melakukan Penegakan hukum, agar tidak lagi hanya mengedepankan kepastian hukum dan keadilan semata, tetapi juga harus memberikan kemanfaatan bagi masyarakat,” ujar Jaksa Agung.
Terkait Restorative Justice, Jaksa Agung mengatakan melalui PPPJ, kehadiran para Adhyaksa muda menjadi perpanjangan tangan saya untuk membuktikan kepada masyarakat, bahwa hukum tidak lagi tajam kebawah dan tumpul ke atas, serta mampu menyerap rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Dengan menyerap “hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang penuh dengan muatan nilai-nilai moral sebagai refleksi atas budaya masyarakat”, kita harus dapat melihat jika saat ini telah terjadi pergeseran paradigma hukum dari keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif (pemulihan).
“Kegelisahan saya melihat penanganan perkara yang menimpa rakyat kecil dan beraspek kemanusiaan semakin mendorong saya untuk melakukan terobosan hukum. Karena hukum tanpa keadilan adalah sia-sia, dan hukum tanpa kemanfaatan juga tidak dapat diandalkan,” ujar Jaksa Agung.
Kegelisahan tersebut menjadi latar belakang terbitnya Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, dimana keadilan restoratif merupakan suatu bentuk diskresi penuntutan oleh penuntut umum, yang sekaligus merupakan pengejawantahan asas dominus litis untuk memberikan kemanfaatan hukum, dimana hati nurani menjadi jembatan untuk mencapai titik neraca keseimbangan.
Termasuk melakukan penilaian ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke Pengadilan, apakah akan memberikan dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih dekat dan memberikan kemanfaatan kepada seluruh pihak.
“Selain itu, para calon Jaksa harus selektif dalam menerapkan Restorative Justice, karena hanya beberapa perkara yang mampu memenuhi syarat diberlakukannya, diantaranya adalah tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun,” ujar Jaksa Agung.
Selanjutnya Jaksa Agung mengkaji apakah pendekatan keadilan restorative dapat diterapkan pada perkara penyalahgunaan narkotika? Namun Jaksa Agung melihat dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 secara jelas disebutkan bahwa tindak pidana narkotika tidak dapat diterapkan keadilan restoratif.
“Sedangkan saya melihat terdapat perubahan paradigma dimana penyalahguna narkotika bukan lagi didudukan sebagai pelaku kejahatan, tetapi sebagai korban dari kejahatan peredaran narkotika, sehingga timbul pertanyaan apakah seorang korban layak untuk dihukum? maka pemidanaan yang tepat untuk diterapkan terhadap penyalahguna adalah rehabilitasi, bukan pidana penjara,” ujar Jaksa Agung.
Atas dasar perubahan paradigma tersebut, Jaksa Agung mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.
Tujuan dari pedoman tersebut adalah untuk terciptanya pemulihan, baik itu pemulihan keadilan, pemulihan mental, dan pemulihan kesehatan penyalahguna. Sehingga dapat meredakan gejolak di masyarakat atas penegakan hukum yang tidak berkemanfaatan.
“Saya tegaskan kepada seluruh Adhyaksa muda untuk memahami betul esensi dan perbedaan mendasar dari kedua aturan tersebut, yaitu pada Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 dilakukan penghentian penuntutan terhadap perkara yang memenuhi syarat. Sedangkan dalam Pedoman Nomor 18 Tahun 2021, penyalahguna narkotika tetap dilakukan penuntutan, namun pemidanaannya menggunakan instrumen rehabilitasi,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung menyampaikan, sehingga ketika menjadi Jaksa mampu melihat secara utuh, dan menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan asas kemanfaatan yang hendak dicapai.
Mengenai Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak, Jaksa Agung mengatakan pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam penanganan perkara pidana telah menjadi suatu kebutuhan hukum di masyarakat guna melindungi kepentingan dan hak Perempuan dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Oleh karena itu saya meluncurkan Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, ujar Jaksa Agung.
Pedoman ini bertujuan agar Jaksa/Penuntut Umum mampu mengkualifisir terminologi dalam menangani perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak, serta mengoptimalisasi pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum.
Karena Jaksa memegang peran penting untuk mengawal dan memastikan pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak guna keberhasilan penanganan perkara pidana untuk keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Mengenai Etika Bersosial Media, Jaksa Agung mengatakan kita adalah abdi negara, abdi masyarakat. Pelaksanaan tugas yang penuh etika dan sopan santun, justru akan membuat masyarakat segan dan menghargai kita. Dan selalu ingat, di atas ilmu ada adab yang harus kalian perhatikan, khususnya dalam menggunakan media sosial.
Sedangkan media sosial merupakan sarana yang paling mudah untuk mencari informasi diri kita maupun kehidupan pribadi kita, sehingga rentan dimanfaatkan oleh pihak yang berseberangan untuk mem-framing atau membuat opini miring tentang diri pribadi, maupun institusi kita.
Terlebih saat ini sedang marak fenomena yang dikenal dengan istilah Corruptors Fight Back. Oleh karena itu kita harus selalu merapatkan barisan, dan waspada dalam melaksanakan tugas. Serta berperilaku sesuai norma yang ada, begitupun dalam beraktivitas di sosial media. Hindari unggahan yang bertentangan dengan kebijakan institusi dan pemerintah.
Oleh karenanya Jaksa Agung tekankan seluruh calon Jaksa wajib memperhatikan etika, adab, dan sopan santun dalam menggunakan media sosial sebagaimana saya tuangkan dalam Surat Nomor: R-41/A/SUJA/09/2021.
Pastikan setiap unggahan tidak mengandung hal-hal yang bersifat SARA, radikalisme, kebohongan, berita palsu, menyerang pribadi orang lain, atau bertentangan dengan kebijakan institusi dan pemerintah.
“Saya ingatkan juga untuk tidak memamerkan kemewahan atau gaya hidup hedonisme dalam kehidupan sehari-hari dan di media sosial. Kita sebagai abdi negara sepatutnya menjadi role model, menjadi contoh yang baik bagi masyarakat,” tegas Jaksa Agung.
Terkait RUU Kejaksaan, Jaksa Agung mengatakan penguatan Kejaksaan sebagai dominus litis suatu kebutuhan hukum. Tujuan utama bagi penguatan Kejaksaan sebagai dominus litis adalah agar mampu menghadirkan keadilan secara lebih dekat kepada masyarakat.
Oleh karenanya saat ini rencana perubahan Undang-Undang Kejaksaan sedang dibahas oleh legislator dan pemerintah, dimana semangat dalam perubahan undang-undang tersebut adalah mengukuhkan kewenangan strategis Jaksa yang tersebar pada berbagai peraturan.
Hal itu setidaknya berkaitan dengan 2 (dua) persoalan pokok dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, yaitu untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pencari keadilan karena bolak-balik dan hilangnya berkas perkara dalam tahap penyidikan akan menimbulkan tidak selesainya penanganan perkara, dan Politik Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia yang masih kerap mengedepankan pendekatan pembalasan (retributif).
“Saya minta saudara mengikuti setiap perkembangan pembahasan RUU Kejaksaan, sehingga saudara cepat bertansformasi dan beradaptasi dari regulasi yang ada pada undang-undang lama kepada regulasi yang ada pada undang-undang perubahan,” ujar Jaksa Agung.
Mengenai Pentingnya Regenerasi dan Figur Teladan, Jaksa Agung kembali mengingatkan kepada para Adhyaksa muda bahwa saya selaku pimpinan tertinggi di Kejaksaan menaruh harapan besar kepada saudara. Tongkat kepemimpinan akan beralih kepada saudara di masa depan.
Proses regenerasi merupakan keniscayaan yang kita tidak dapat pungkiri, dimana waktu akan terus berjalan dan di suatu titik kita harus berhenti melaksanakan tugas pengabdian sebagai seorang Jaksa, dan tugas kita akan digantikan oleh tunas-tunas muda Adhyaksa dalam meneruskan kemimpinan Kejaksaan di masa yang akan datang.
Oleh karena itu mengawal dan memastikan proses regenerasi berjalan merupakan salah satu tugas penting kita sebagai unsur pimpinan di Kejaksaan.
“Maka jangan saudara sia-siakan kesempatan ini, karena jabatan yang kelak akan saudara emban merupakan jabatan yang memiliki tanggung jawab besar, dan akan menjadi ladang amal bagi saudara. Namun jika saudara mempermainkan amanah ini maka akan terjadi sebaliknya,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung mengingatkan bahwa tantangan sesungguhnya adalah setelah calon Jaksa lulus PPPJ. Saudara akan mengalami dinamika penegakan hukum yang kompleks.
Oleh karenanya kembali Jaksa Agung mengingatkan, kepada semua peserta PPPJ untuk tetap membumi, tetap rendah hati, dan terus memperkaya pengetahuan agar siap menjawab segala tantangan di masa depan.
Jadikan figur Bapak Kejaksaan R. Soeprapto, cerminan pribadi Tri Krama Adhyaksa sebagai teladan. Saya harap ketokohan, keteladanan dan keteguhan beliau dalam menegakan hukum, serta panji-panji Adhyaksa dapat menginspirasi para calon Jaksa dalam menjalankan tugas. (puspenkum kejagung/fer)