JAKARTA, JurnalBorneo.co.id – Para penegak hukum khususnya Jaksa, masih banyak yang terjebak dengan tugas, fungsi dan wewenang yang diembannya sehari-hari. Sering sekali dalam proses penegakan hukum, hanya berpatokan pada proses formalistik (sering disebut keadilan formalistik) angka-angka yang ada dalam peraturan perundang-undangan tanpa melihat segala aspek pertimbangan yuridis, teknis, sosiologi, budaya (culture) dan local genius yang berkembang di masyarakat.
“Pertimbangan yuridis, teknis, sosiologi, budaya (culture) dan local genius merupakan kolaborasi disebut dengan keadilan substantif atau dikenal hati nurani,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam siaran persnya di Jakarta, Kamis (12/1/2023).
Pada setiap kesempatan, Jaksa Agung baik sebagai pimpinan tertinggi penegak hukum di bidang penuntutan dan sebagai akademisi menyampaikan “Hati Nurani tidak ada dalam buku, hanya ada dalam sanubari setiap insan manusia”, dan untuk itu kepekaan penegak hukum sangat dibutuhkan dalam menangani setiap perkara.
Salah satu contoh yakni penanganan kasus pelecehan seksual oleh Kejaksaan Negeri Lahat, dimana hanya melihat dari sisi pelaku yang pada saat melakukan tindak pidana masih di bawah umur tanpa melihat kondisi korban yang secara psikis mengalami traumatis seumur hidupnya termasuk keluarganya, dan seharusnya tidak ada alasan untuk memberikan hukuman ringan atau dispensasi bagi pelaku.
“Maka dari itu, aspek psikologi, agama, lingkungan harus menjadi perhatian seluruh Jaksa untuk menangani setiap perkara sehingga sense of crisis akan tertanam dalam nurani kita,” ucapnya.
Menurutnya, keadilan yang didasari dengan hati nurani harus terus dilatih dengan melihat langsung korban, pelaku, masyarakat dan local genius (kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat), dan jika itu dilakukan protes, kontroversi, polemik dalam setiap penanganan perkara dapat dihindarkan.
“Kita ini masyarakat yang agamis, menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, menjunjung tinggi nilai etika dan kesopanan termasuk menjunjung tinggi nilai keadilan masyarakat (keadilan sosial), dan hal tersebut harus menjadi pegangan para Jaksa dalam penanganan perkara,” tegasnya.
Dalam setiap kesempatan, Jaksa Agung sering menyampaikan untuk tidak ada yang menyalahgunakan wewenang sekecil apapun dalam penanganan perkara dan semua aspirasi yang ada di masyarakat harus didengar.
“Gunakan nuranimu, apakah perkara ini dan layak untuk dilanjutkan, layak diringankan atau layak untuk diperberat. Kewenangan yang saudara miliki sangat besar dalam membangun citra penegakan hukum di masyarakat,” tuturnya.
Hati nurani dalam proses penegakan hukum wajib hukumnya dimana seorang Jaksa di lapangan harus memahami kebutuhan hukum masyarakat. Jadi harus sering turun dan melihat langsung kondisi riil yang ada dalam masyarakat.
Konsep penegakan hukum yang menjadi tren di era modern ini membuat kita harus selalu beradaptasi menciptakan hukum yang dapat bermanfaat, menjamin kepastian hukum dan berkeadilan di masyarakat tanpa mengorbankan kecepatan, serta kemudahan dan ketepatan dalam mengambil sikap ketika menghadapi permasalahan hukum di masyarakat.
Hal-hal itulah yang selalu Jaksa Agung ingatkan sebagai upanya memasyarakatkan hukum dengan istilah kerennya penegakan hukum humanis. (Puspenkum Kejagung/red)