Jakarta, JurnalBorneo.co.id – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Dr. Fadil Zumhana menyetujui 9 dari 10 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice (Keadilan Restoratif), Senin (14/8/2023).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Dr. Ketut Sumedana menjelaskan kesembilan permohonan yang disetujui adalah tersangka RCK dari Cabang Kejaksaan Negeri Kotamobagu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka NH dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan, tersangka EW dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan, yang disangka melanggar 362 KUHP tentang Pencurian.
Tersangka I YP, tersangka II JP dan tersangka III JM dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Tersangka MRK dari Kejaksaan Negeri Manado, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan, tersangka GK dari Soleman Kamlasi (Alm) dari Kejaksaan Negeri Kapuas Hulu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka H dari Kejaksaan Negeri Mempawah, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, tersangka AR dari Kejaksaan Negeri Bulukumba, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Terakhir tersangka FDS dari Kejaksaan Negeri Gowa, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
“Sementara berkas perkara atas nama tersangka SS dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Kapuas Hulu yang disangka melanggar Pasal 284 Ayat (1) Ke-1 Huruf a) KUHP tentang Perselingkuhan, tidak dikabulkan Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,” kata Ketut di Jakarta.
Hal ini dikarenakan perbuatan atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh Tersangka, bertentangan dengan nilai-nilai dasar sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Sedangkan alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Tersangka belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun dan tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
Kemudian proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi, dan tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.
“Lalu pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif,” ucapnya.
Selanjutnya, JAM Pidum memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (Puspenkum Kejagung/fer)