Palangka Raya, Jurnalborneo.co.id — Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Tengah H. Ahmad Rasyid, menyoroti UU Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka lingkup kewenangan yang didelegasikan oleh Pemerintah Pusat meliputi pemberian sertifikat standar dan izin, khususnya menyangkut tentang pengembalian izin pertambangan non-mineral ke Pemerintah Daerah.
Menurut Rasyid, 1Perpres 55 tahun 2022 ini sebenarnya memberikan peluang untuk Pandapatan Asli Daerah (PAD), melalui pemberian sertifikat standar dan pemberian izin mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu, bantuan dan Ijin Pertambangan Rakyat atau IPR, namun dalam pelaksanaannya tidak sesuai harapan.
Realisasi Perpres 55 tahun 2022 masih belum ada kejelasan, sehingga banyak masyarakat khususnya pengusaha di Kalteng yang merasa kebingungan saat ingin mengurus perizinan pertambangan non-mineral karena ketidakjelasan kewenangan.
“Efek Perpres 55 tahun 2022 mengakibatkan kesulitan untuk kita didaerah terutama izin galian C banyak yang sudah mati atau habis masa berlakunya ujung-ujungnya menggangu pelaksanaan pembangunan didaerah kita, pungkasnya selasa 22 November 2022,” ujar Rasyid.
Politisi senior Fraksi Gerindra sekaligus Mantan Ketua DPRD Barsel ini juga mengkritisi kebijakan pemerintah pusat tersebut, bahwa dengan Perpres dimaksud daerah juga diberikan kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perizinan berusaha yang didelegasikan secara efektif dan efesien, serta pembinaan dan pengawasan kepada perijinan berusaha yang didelegasikan dapat meningkatkan pendapatan melalui opsen pajak atas produksi Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
“Kalau saya lihat pemerintah pusat sepertinya enggan bahkan terkesan setengah hati untuk memberikan sedikit kewenangan kepada pemerintah daerah,” pungkasnya. (fan)