Palangka Raya,JurnalBorneo.co.id – Sidang dugaan korupsi dana hiba KONI Kotim 2021-2023 kembali digelar di Pengadilan Tipikor Palangka Raya, Kamis (10/10/2024) pagi. Persidangan hari ini merupakan sidang ke-14 dengan agenda mendengarkan keterangan 6 saksi dari Jaksa Penuntut Umum.
Enam saksi itu adalah Ketua Ikatan Motor Indonesia (IMI) Kotim Angga Aditya Nugraha, Sekretaris IMI Kotim/Kabid Perbendaharaan BKAD Kotim H. Juma’eh, SE, ME dan Anggota DPRD Kotim 2019-2024 Dadang Siswanto, SH, MH dan Parimus, SE.
Kemudian Owner/pemilik Eksport Medal, Willy Widjaya dan Ardian Farisandi selaku Owner Maskot Galeri.
Namun, hanya satu orang saja yang hadir yakni Ketua IMI Kotim Angga Aditya Nugraha yang juga putra Bupati Kotim Non aktif H. Halikinnor.
Kehadiran hanya satu saksi dari 6 orang yang dipanggil membuat Pua Hardinata selaku Penasihat Hukum terdakwa Ahyar dan Bani Purwoko meradang.
Pua menilai hal itu menunjukkan ketidakmampuan Jaksa dalam menghadirkan seluruh saksi ke persidangan. Alasannya kejadian ini bukan yang pertama tapi telah beberapa kali dan terus berulang.
“Bagaimana bisa membuktikan perbuatan melawan hukum dan memenuhi unsur tindak pidana merugikan kerugian keuangan negara jika banyak saksi yang tidak hadir. Kejadian ini bukan hanya sekali atau hari ini saja,” tegas pengacara/advokat senior ini kepada para wartawan seusai sidang ke-14.
Semestinya, sambungnya, Jaksa mesti memanggil paksa kepada para saksi yang 3 kali tidak hadir dalam persidangan. “Bila perlu pergunakan Pasal 21 dan 22 Undang-undang Tipikor,” katanya.
Saat ditanyakan sikapnya jika saksi tidak datang tiga kali lalu Jaksa membacakan BAP saksi sewaktu penyidikan, dia menyatakan, BAP merupakan pemeriksaan pendahuluan atau pedoman pemeriksaan sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
“Yang mempunyai kekuatan hukum adalah saksi yang bersumpah/berjanji langsung di pengadilan di hadapan Hakim. Sesuai KUHAP, sumpah yang berharga dan sah adalah yang diucapkan langsung di hadapan Hakim. Hakim itu kan wakil Tuhan. Sumpah itu juga yang bisa “memakannya,” ucapnya.
Di ujung wawancara, dia menyampaikan, sampai persidangan hari ini keterangan semua saksi untuk sementara tidak dapat membuktikan kerugian negara sebesar Rp10 M lebih. Dikatakannya, semua saksi menyatakan tidak ada pemotongan.
Dia pun mengungkapkan, keheranannya mengapa Jaksa menyatakan kerugian negara Rp10 M lebih hanya berdasarkan proposal bukan dengan dana yang dipergunakan.
“Proposal itu barang mentah, yang iya nya itu sudah dibelanjakan. Harusnya ditangan kita, selisih antara yang diterima dan dibelanjakan itu yang bisa jadi kerugian negara. Masa kerugian negara duitnya di Bank, kan tidak mungkin,” pungkasnya.
Di tempat yang sama, JPU Kejati Kalteng I Wayan Suryawan menjelaskan, ketidakhadiran saksi dalam persidangan telah memberikan alasan yang patut, ada kegiatan dan ada surat tugasnya. Dari 5 orang yang tidak hadir, 3 diantaranya sedang sakit dan 2 lagi sedang dinas luar.
“Kan sudah kami jawab dalam persidangan bahwa kami telah memanggil para saksi secara patut dan para saksi juga memberikan alasan yang patut. Ini ada surat keterangannya dan surat tugasnya yang sah dari pejabat yang berwenang,” katanya.
Terkait pernyataan Penasihat Hukum terdakwa agar Jaksa memanggil paksa saksi yang tidak hadir lebih dari 3 kali dengan menggunakan Pasal 21 dan 22 UU Tipikor, Dia menegaskan hal itu akan dilakukan jika para saksi tidak hadir tanpa keterangan.
“Jika ada alasan secara patut dan memenuhi ketentuan hukum, bagaimana kami bisa memintakan penetapan itu dari Majelis Hakim,” ucapnya.
Menurutnya, pembacaan BAP saksi saat penyidikan memiliki bobot yang sama dengan kesaksian langsung di hadapan Majelis Hakim di persidangan. Sebabnya, keduanya dilakukan di bawah sumpah atau janji oleh para saksi.
“Para saksi bersumpah/berjanji harus memberikan keterangan sebenarnya, tidak ada yang ditutup-tutupi,” ujar pria yang menjabat Kasi Penuntutan Kejati Kalteng ini.
Sehubungan dengan dakwaan kerugian keuangan negara Rp10 M lebih, dia membeberkan, bahwa penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara ini mengacu kepada Naskah Perjanjian Hiba Daerah (NPHD).
Dalam NPHD itu lah tertuang rincian operasional KONI dan cabang olahraga. Sesuai tidak pelaksanaannya ketika dana telah diberikan berdasarkan permohonan yang dilampirkan dalam NPHD.
“Seharusnya proposal itu mengikuti angka dipermohonan NPHD. NPHD itu undang-undang yang harus dilaksanakan. Tetapi dilaksanakan atau tidak kan kelihatan. Dari semua cabang olahraga yang di dalam NPHD sesuai pengusulan pencairan dana seharusnya menerima Rp100 juta ternyata hanya Rp60 juta, yang seharusnya Rp50 juta hanya diberi Rp20 juta,” tutupnya. (fer)