Jakarta, JurnalBorneo.co.id – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Mario Dandy Satriyo alias Dandy terdakwa penganiaya tindak pidana Crystalino David Ozora dengan tuntutan pidana 12 tahun penjara dan menanggung biaya restitusi senilai Rp120 miliar.
“Menyatakan terdakwa Dandy telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan Penganiayaan Berat dengan rencana terlebih dahulu sebagaimana Pasal 355 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan Pertama Primair Penuntut Umum,” kata JPU di depan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/8/2023).
Amar tuntutan lainnya yakni menjatuhkan pidana penjara oleh karena itu kepada terdakwa Dandy dengan pidana penjara selama 12 tahun dikurangi selama berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa Dandy tetap ditahan.
Membebankan terdakwa Dandy, saksi Shane Lukas Rotua Pangondian Lumbantoruan alias Shane, dan Anak Saksi AGH (masing-masing dalam berkas perkara terpisah) bersama-sama secara berimbang dengan menyesuaikan peran serta tingkat kesalahan yang mengakibatkan timbulnya kerugian untuk membayar restitusi kepada Anak korban Crystalino David Ozora Als Wareng sebesar Rp120,388 miliar dengan ketentuan jika tidak mampu membayar diganti dengan pidana penjara selama 7 tahun
Menetapkan barang bukti dipergunakan dalam perkara lain atas nama saksi Shane Lukas Rotua Pangodian Lumbantoruan alias Shane.
Menetapkan agar terdakwa Dandy membayar biaya perkara sebesar Rp5 ribu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Dr. Ketut Sumedana mrnjelaskan, JPU membebankan biaya restitusi terhadap terdakwa Dandy dengan pertimbangan sebagai berikut:
· Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan: “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan hati nurani dengan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.”
· Pasal ini merupakan manifestasi dari visi Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menghendaki penegakan hukum dijalankan oleh seorang Jaksa yang tidak hanya harus “berhati bersih”, tetapi juga harus “menghidupkan hatinya” dalam menginterpretasikan hukum. Itulah hakikat sejati dari kredo fenomenal Jaksa Agung yang selalu mengatakan “Penegakan Hukum Berbingkai Hati Nurani”. Pasal ini juga menonjolkan peran Jaksa yang bertindak berdasarkan hati nurani dan wajib menggali nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.
· Karena itulah, nilai kemanusiaan dan nilai keadilan akan selalu saling berkaitan dan melengkapi di antara satu sama lain. Tanpa nilai kemanusiaan, nilai keadilan tidak akan memiliki landasan moral dan etik yang kuat. Tanpa nilai keadilan, nilai kemanusiaan tidak akan dapat direalisasikan secara optimal dan menyeluruh.
· Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 ini turut mengandung makna filosofis yang kuat dalam mengatur tentang sikap, perilaku, dan tanggung jawab Jaksa dalam menjalankan tugasnya. Pasal ini juga mengingatkan Jaksa untuk tidak hanya berorientasi pada aspek formal hukum, tetapi juga aspek substansial hukum yang mencerminkan nilai-nilai moral, etik, dan sosial. Selain itu, pasal ini juga mengharapkan Jaksa untuk menjadi teladan bagi masyarakat dalam menegakkan hukum yang adil dan bermartabat.
“Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa Jaksa mendasarkan penuntutannya tidak hanya berpijak pada peraturan perundang-undangan semata, tetapi dapat bebas secara bertanggungjawab untuk menafsirkan dan menginterpretasikan hukum tersebut dengan mengedepankan nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” ucap Ketut.
Oleh sebab itu, bila terjadi pertentangan antara hukum positif (kepastian hukum) dengan keadilan, ataupun terdapat suatu keadaan dimana tidak ada aturan yang mengatur mengenai suatu peristiwa atau aturan yang ada belum dapat mengakomodir kebutuhan hukum dalam masyarakat, Jaksa harus menggali nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran didalam masyarakat itu sendiri sehingga dapat hadir untuk memberikan solusi terbaik bagi semua pihak dalam upaya untuk menyelesaikan konflik.
Dilihat dari serangkaian konstruksi hukum diatas dan dihubungkan dengan perkara a quo, apabila terdakwa Dandy tidak mampu ataupun tidak mau membayar restitusi sebesar Rp120,388 miliar yang telah ditentukan oleh LPSK untuk diberikan kepada anak korban Crystalino David Ozora alias Wareng.
Sementara tidak ada pidana pengganti restitusi yang dapat dibebankan kepada terdakwa Dandy, dkk, maka sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, telah terjadi suatu kekosongan hukum.
Kekosongan hukum tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi korban tindak pidana (anak korban Crystalino David Ozora) yang berhak mendapatkan restitusi sebagai salah satu bentuk pemulihan kerugian fisik, psikis, dan materiil yang dialaminya akibat tindak pidana tersebut. Hal ini didasarkan pada:
· Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana: “Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku terhadap permohonan Restitusi atas perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.”
· Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana: (1) “Setiap Anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi.” (2) “Anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: e. Anak korban kekerasan fisik dan /atau psikis.”
· Pasal 1 angka 11 UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban & Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2018 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban: “Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.”
· Pasal 7A Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Pasal 19 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban: “Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa: a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.”
· Surat LPSK Nomor: R-1307/5.1.HSPP/LPSK/04/2023 tanggal 04 April 2023, Hal: Pengajuan Restitusi.
Oleh karenanya, restitusi merupakan hak konstitusional anak korban tindak pidana yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana terdakwa Dandy dkk sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya.
Oleh karena itu, ketika terdakwa Dandy dkk tidak mampu atau tidak mau membayar restitusi kepada anak korban Crystalino David Ozora alias Wareng, maka hak anak korban Crystalino David Ozora alias Wareng untuk mendapatkan restitusi tidak dapat dipenuhi dan anak korban Crystalino David Ozora alias Wareng mendapatkan ketidakadilan ganda dari tindak pidana yang telah menimpanya. (Puspenkum Kejagung/fer)