Palangka Raya, jurnalborneo.co.id – Intoleronsi pernyataan pada Sebuah postingan dari salah satu pembeli yang ada di kota Palangka Raya, yang mengungkapkan ada seorang oknum pedagang di Pasar Besar yang tidak melayani dirinya dengan alasan beda agama.
Mendapat respon dari sejumlah masyarakat, Ketua Penegak Hukum Rakyat Indonesia (PHRI) Kalteng Suriansyah Halim mengatakan, sebagai praktisi hukum tentu hal ini berkaitan dengan intoleransi atau tidak ada rasa tenggang rasa terhadap agama orang lain selain agama yang dianutnya. yang sudah ditunjukkan oleh salah satu penjual barang di pasar tersebut yang belakangan ini menjadi viral sangat disayangkan.
“Namun saya salut dengan cepatnya tim humas Polda Kalteng bertindak dengan mendatangi pedagang tersebut dan langsung melakukan klarifikasi. Tapi saran saya baiknya jika kejadian-kejadian seperti itu jangansampci terulang kembali,” pungkas Suriansyah Halim, Sabtu (06/12/2023). kemarin.
Selain itu, dengan adanya kejadian ini kami berharap tim Humas Polda Kalteng atau anggota Polri lainnya dapat bertindak, menyusuri kenapa alasan pedagang tersebut sampai bersikap intoleransi, supaya tidak diikuti oleh pedagang, lainnya.
“Lakukan klarifikosi yang jelas supaya hal-hal tersebut tidak terulang kembali, apakah sikap pedagang tersebut ada yang mengajarkan, sehingga ada potensi diikuti oleh orang lain, ataukah sikap intoleransi tersebut hanya pemikiran sendiri dari pedaçang tersebut,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, sikap masyarakat dan ormas seharusnya juga ikut mengawasi tentang intoleransi ini, supaya jika mengetahui bisa langsung berkoordinasi atau bertindak. Supaya sikap intoleransi tersebut tidak menyebar dan bisa dicegah.
“Kalau bisa dapat atau tidak bisa pelaku SARA tersebut dijerat pidana maka semua tergantung apakah unsur/ perbuatan dalam pidana terpenuhi semuanya, kalau secara umum pelaku SARA dapat dijerat UU No, 40 Tahun 2008 tentang penghapusan Diskriminasi Ras & Etnis dalam Pasal 4 Jo. Pasal 16 dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, dan/atau denda paling banyak 500 juta,
Jika dilakukan juga dengan elektronik maka dapat dijerat dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang terdapat dalam Pasal 28 Ayat (2) Jo. Pasal 45 Ayat (2) dengan pidana penjara paling lama 6 tahun, dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar,’ tutupnya. (MAD)