Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pengertian Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk merealisasikan Undang-undang tersebut dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002, dengan landasan hukum Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Seiring perjalanan waktu dan untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman, Undang-undang tersebut disesuaikan. Tercatat telah dilakukan 2 (dua) kali perubahan atas undang-undang tersebut. Terakhir kali, yaitu dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atsa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tanpa terasa KPK telah memasuki usia yang ke-21.
Tugas KPK menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yaitu melakukan:
a) tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi;
b) koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik;
c) monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara;
d) supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
e) penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi; dan
f) tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penyelenggara Negara, dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan negara seringkali “dicurigai” jika mempunyai harta kekayaan. Padahal, mempunyai harta kekayaan merupakan hak setiap orang. Apakah penyelenggara negara tidak boleh memiliki harta kekayaan? Apakah penyelenggara negara harus “dalam kondisi pas-pasan”? Guna menangkal “kecurigaan” terhadap harta kekayaan Penyelenggara Negara dan untuk menjalankan salah satu tugasnya, KPK telah menyediakan sarana berupa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Sarana ini disediakan bagi Penyelenggara Negara yang diwajibkan untuk melaporkan Harta Kekayaannya menurut Peraturan Perundang-undangan. Sarana tersebut yaitu https://elhkpn.kpk.go.id/.
Penyampaian/pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dilaksanakan secara periodik, atas harta yang diperoleh dalam kurun waktu Januari s.d Desember. Jangka waktu pelaksanaan penyampaian LHKPN dibatasi waktunya oleh KPK yaitu mulai bulan Januari s.d Maret tahun berikutnya atas harta kekayaan yang diperoleh pada tahun sebelumnya.
Bagi Penyelenggara Negara/Wajib Lapor LHKPN yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil dapat dikenakan sanksi jika tidak melaksanakan kewajiban Lapor LHKPN. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Lalu, bagaimana jika Penyelenggara Negara/Wajib Lapor LHKPN tersebut adalah pejabat publik? Apakah sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur sanksi bagi mereka yang “lalai” dari kewajiban menyampaikan LHKPN-nya?
LHKPN, merupakan salah satu upaya menciptakan pemerintah yang bersih, bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Penyampaian LHKPN melalui https://elhkpn.kpk.go.id/ sangat mudah dipahami dan dikerjakan. Menu yang tersedia dalam akun e-lhkpn yaitu: Data Pribadi, Jabatan, Data Keluarga, Harta, Penerimaan, Pengeluaran, Lampiran Penjualan/Pelepasan, Lampiran Fasilitas, dan Review Harta. Pada menu Data Pribadi, digunakan untuk mengisi informasi data-data pribadi Penyelenggara Negara/Wajib Lapor. Menu Jabatan, berisi informasi Jabatan Penyelenggara Negara/Wajib Lapor.
Menu Data Keluarga berisi daftar keluarga yang menjadi tanggungan Penyelenggara Negara/Wajib Lapor. Selanjutnya pada Menu Harta berisi tentang informasi harta-harta yang dimiliki/dikuasai oleh Penyelenggara Negara/Wajib Lapor.
Dalam menu ini Penyelenggara Negara/Wajib lapor diwajibkan mengisi harta yang dimiliki/dikuasainya meliputi: Tanah/Bangunan, Alat Transportasi/Mesin, Harta Bergerak Lainnya, Surat Berharga, Kas/Setara Kas, Harta Lainnya, dan Hutang. Kemudian pada menu Penerimaan berisi informasi Jenis Penerimaan (Penghasilan/Pendapatan) Penyelenggara Negara/Wajib Lapor. Menu ini terdiri dari 3 (tiga) item sumber Penerimaan yaitu 1. Penerimaan dari Pekerjaan, 2. Penerimaan dari Usaha dan Kekayaan, dan 3. Penerimaan Lainnya.
Selanjutnya yaitu menu Pengeluaran. Pada menu ini, juga terdiri dari 3 (tiga) item Pengeluaran yaitu 1. Pengeluaran Rutin, 2. Pengeluaran Harta dan 3. Pengeluaran Lainnya. Menu berikutnya yaitu Lampiran Penjualan/Pelepasan yang wajib diisi oleh Penyelenggara Negara atas/jika ada kegiatan Penjualan/Pelepasan/Pemberian Harta dan Penerimaan Harta.
Berikutnya menu Lampiran Fasilitas, diisikan oleh Penyelenggara negara/Wajib Lapor yang mendapat dukungan Fasilitas dalam melaksanakan tugasnya sebagai Penyelenggara Negara. Terakhir yaitu menu Review Harta. Pada menu ini disajikan 1. Rekapitulasi Harta Kekayaan, 2. Rekapitulasi Penerimaan Kas, dan 3. Rekapitulasi Pengeluaran Kas.
Pada menu ini, digunakan untuk mencetak ikhtisar harta, dan mendapatkan “token” untuk melaporkan LHKPN. Dengan dikirimkan “token” oleh Wajib Lapor LHKPN, maka proses penyampaian LHKPN telah dilaksanakan oleh Wajib Lapor, dan data telah diterima oleh KPK dibuktikan dengan Lembar Penyerahan Formulir Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yang diberikan olej KPK melalui e-mail Wajib Lapor.
Proses selanjutnya adalah verifikasi oleh KPK terhadap data yang disampaikan oleh Penyelenggara Negara/Wajib Lapor. Jika hasil verifikasi dinyatakan lengkap oleh KPK, maka Penyelenggara Negara menerima Tanda Terima Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya Penyelenggara Negara/Wajib lapor harus melaksanakan Pengumuman atas LHKPN-nya.
Namum jika hasil verifikasi oleh KPK menyatakan “belum lengkap” maka Penyelenggara Negara/Wajib Lapor harus segera melengkapi/memperbaiki kekurangan atas Laporan Harta Kekayaannya dalam tempo 30 (tiga puluh hari) setelah diterimanya pemberiatahuan dari admin pengelola LHKPN. Jika kewajiban ini diabaikan maka KPK berwenang memberikan status “Belum Lapor” kepada Penyelenggara Negara/Wajib Lapor tersebut.
Inspektorat Daerah (di beberapa Daerah mungkin Instansi lainnya) yang mengelola LHKPN memiliki peran penting atas tercapainya kepatuhan pelaporan LHKPN. Instansi yang berwenang mengelola LHKPN mempunyai tugas monitoring dan evaluasi pelaporan LHKPN. Koordinasi dan komunikasi pengelola LHKPN kepada admin KPK, Pimpinan Perangkat Daerah, Penyelengara negara/Wajib lapor, dan admin unit kerja selalu dilaksanakan untuk keberhasilan kepatuhan penyampaian LHKPN.
Monitoring yang dilakukan pengelola LHKPN tidak berhenti sampai akhir bulan Maret saja, tetapi monitoring berlanjut sampai seluruh Penyelenggara Negara/Wajib Lapor di Wilayahnya dinyatakan 100% lengkap menyampaikan LHKPN oleh KPK. Oleh karena itu, kadang terdapat “adu gengsi” antar pengelola LHKPN untuk memperoleh urutan/rangking terbaik dalam Kepatuhan Penyampaian HKPN. Selain itu tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN juga menjadi salah satu indikator dalam Monitoring Center for Prevention (MCP) yang dilaksanakan oleh KPK. Sehingga diharap maklumnya kepada Penyelenggara Negara/Wajib Lapor jika pengelola LHKPN terkadang “cerewet” mengingatkan penyelesaian pelaporan LHKPN.
Bagi Perangkat Daerah, tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN di Lingkungan Perangkat Daerah, juga menjadi salah satu indikator dalam Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) dan Penilaian Mandiri Zona Integritas yang digagas oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sehingga keberhasilan pencapaian kepatuhan LHKPN memerlukan dukungan dari semua pihak baik itu Penyelenggara Negara/Wajib Lapor, Admin Pengelola LHKPN, Kepala Perangkat Daerah, dan Kepala Daerah.
Selanjutnya, bagaimana dengan masyarakat umum? Apa yang dapat mereka lakukan terhadap LHKPN? Masyarakat umum dapat melakukan pemantauan terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh Penyelenggara Negara/Wajib Lapor. Caranya yaitu dengan mengakses https://elhkpn.kpk.go.id/. Pada beranda, pilih menu e-Announcement.
Pada menu tersebut masyarakat dapat “mencari” laporan harta kekayaan yang disampaikan oleh Penyelengara Negara yang “diinginkan” oleh masyarakat. Jadi melalui menu e-Announcement, masyarakat umum dapat “kepo/julid” terhadap harta kekayaan yang dilaporkan oleh Penyelenggara Negara/Wajib Lapor.
Saat ini telah memasuki minggu ke-1 bulan February 2023, artinya para Penyelenggara Negara/Wajib lapor harus sudah mulai mengakses https://elhkpn.kpk.go.id/ untuk melaporkan perolehan Harta Kekayaannya selama Tahun 2022 lalu. Melalui pengisian LHKPN, menunjukan bahwa Penyelenggara Negara/Wajib Lapor telah berperan dalam mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, dan Bebas dari KKN. Semoga Pemerintahan di seluruh NKRI terbebas dari KKN. (Aamiin).
*) Auditor Pertama Inspektorat Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur