PALANGKA RAYA, JurnalBorneo.co.id – Kuasa Hukum 17 eks/mantan karyawan PT. BPCI, Suriansyah Halim mengatakan sesuai akta perjanjian damai antara kliennya dan PT. BPCI maka tinggal selangkah lagi pembayaran gaji dan hak-hak kliennya clear atau lunas.
“Sesuai kesepakatan maka pada 3 Februari 2022 PT. BPCI mesti melakukan pembayaran terakhir hak-hak karyawan sebesar Rp 2.598.841.807,” kata Halim di kantornya di jalan Rajawali Palangka Raya, Rabu (26/1/2022) sore.
Dia menjelaskan pembayaran yang dilakukan PT BPCI sesuai dengan Akta Perdamaian Nomor 18/pdt.Sus-PHI.Plw/2020/PN Plk tertanggal 3 November 2021 yang telah disahkan oleh PN Palangka Raya. Saat terbitnya akta perdamaian, PT. BPCI memberikan DP kepada kliennya sebesar Rp500 Juta dari jumlah total Rp8,2 Miliar.
Kemudian sisanya mesti dilunasi dalam kurun waktu tiga bulan. Teknisnya, pembayaran dibagi tiga tahap. Pada tahap pertama pihak perusahaan harus membayar Rp 2.598.841.807 pada 3 Desember 2021. Selanjutnya tahap dua pada 3 Januari 2022 membayar dengan nominal yang sama .
“Awal mula permasalahan, muncul pertama pada 26 Februari 2020. Ketika itu ke-17 karyawan diperintahkan perusahaan untuk tidak bekerja dan dijanjikan gajinya akan dibayarkan pada 6 Maret 2020,” jelas Halim.
Ternyata sampai tanggal tersebut, gaji belum juga diterima. Justru yang ada pada 23 Maret 2020 melalui email, direktur utama yang baru menyatakan pembayaran gaji sebagai karyawan tetap belum dapat dilaksanakan dengan alasan perusahaan tidak memiliki dana hingga terjadi penjualan batubara.
Sampai Oktober 2020, gaji/upah dan hak-hak ke-17 karyawan tidak kunjung dibayar oleh PT. BPCI yang merupakan perusahaan swasta asing yang bergerak di bidang usaha pertambangan batubara yang berlokasi di Muara Teweh Kabupaten Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah.
“Kemudian ke-17 karyawan mengadukan nasibnya ke Disnaker Barito Utara lalu ke Disnakertrans Kalteng namun tidak juga ada kepastian pembayaran gaji/upah dan hak-hak mereka sebagai karyawan tetap,” ucap Halim.
Akhirnya, kata pengacara muda ini, ke-17 karyawan tersebut menggugat PT BPCI melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya pada November 2020.
Pada 19 Maret 2021 Majelis Hakim PHI pada PN Palangka Raya yang diketuai Nithanel Nahsyun Ndaumanu didampingi Hakim anggota Avan Loeckman Pranawa dan Leh Yulianty mengeluarkan putusan Nomor 18/Pdt.Sus-PHI/2020/PN Plk.
Amar pada point 4 menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang sesuai dengan berita sita jaminan yang dilaksanakan oleh Juru Sita PN Palangka Raya pada hari Jumat (5/3/2021) terhadap stok batubara PT BPCI sebanyak 5.857 ton yang berada di Pelabuhan PT NBL dan stok batubara PT BPCI sebanyak 3.131 ton ditambah 97.345 ton, yang berada dialamat stockroom fit PT BPCI.
“Keputusan Majelis Hakim PHI pada PN Palangka Raya membuat semangat klien kami bahwa gaji dan hak-haknya akan terpenuhi,” tutur Halim yang juga Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Palangka Raya.
Saat menunggu putusan Majelis Hakim, ke-17 karyawan pada 19 April 2021 mengetahui stok batu bara yang telah disita jamin oleh pengadilan ternyata telah dijual oleh PT. BPCI. Merasa sangat keberatan dan dirugikan mereka pun melaporkan dugaan penggelapan tersebut ke pihak Ditreskrimsus Polda Kalteng untuk diproses secara hukum pada 20 April 2021.
“Penjualan batubara yang dilakukan oleh PT. BPCI diduga ilegal karena pengadilan belum mencabut sita jaminan sehingga pemindah tanganan menjadi unsur pidana penggelapan,” tegas Halim.
Selanjutnya kedua belah pihak terjadi perdamaian dan disahkan PN Palangka Raya dalam bentuk Akta Perdamaian Nomor 18/pdt.Sus-PHI.Plw/2020/PN Plk tertanggal 3 November 2021.
“Semoga PT. BPCI konsisten dengan isi akta perdamaian untuk melakukan pembayaran terakhir pada 3 Februari 2022. Jangan sampai wanprestasi karena yang rugi PT. BPCI sendiri karena kami bisa menuntut lebih dari itu,” tutup Halim. (fer)
Foto : Suriansyah Halim.*ist.