TUMBANG SAMBA, Jurnalborneo.co.id – Pada bulan Agustus 1949 diperoleh kabar bahwa pasukan KNIL akan melakukan penyerangan di daerah Dayak Besar. GRRI kemudian memutuskan untuk menghadang pasukan KNIL di ujung jalan ke Tumbang Jalemu di tepi Danau Mare yang masuk wilayah Desa Samba Bakumpai, Kecamatan Katingan Tengah, Kabupaten Katingan.
Kemudian dipilihlah 70 orang GRRI untuk bertempur, sebelum berangkat terlebih dahulu diadakan upacara Adat Dayak “Manajah Antang” [4]. Antang tajahan memberikan pertanda bahwa mereka pasti akan memperoleh kemenangan. Dari 70 orang anggota yang berangkat dikurangi, karena menurut pandangan tetua-tetua adat bahwa kalau dipaksakan untuk pergi bertempur maka akan tewas. Samudin Aman selaku komadan pasukan akhirnya memilih 28 orang yang diberangkatkan dan dibagi menjadi tiga regu yaitu :
1. Regu senapan dumduman terdiri dari 9 anggota yaitu : Rajat dan Paul Isa dari Tumbang Manyangan, Lanang dan Abu Aman dari Batu Nyiwuh, Tuis Pandung dari Tehang, Birin Sulang dan Dawak Sulang dari Tumbang Talaken, Sikman dari Rabambang serta Junaidi dari Negara (Kalimantan Selatan) yang dipimpin oleh Kapten I Samsudin Aman
2. Regu pistol dan granat dipimpin Kapten II Muller Hanyi Antang dengan anggotanya 5 orang yaitu : David Kamal dari Hampatong, Lalim dari Mambulau, Tanggara dari Tumbang Baringei, Upeng Kurik dari Hulu Sungai Kahayan ,dan seorang lagi yang tidak diketahui namanya.
3. Regu Sumpitan dipimpin oleh Letnan I Hernous Sada dengan anggota 12 orang yaitu : Inin dari Jangkit, Kenan Kunum dari Tumbang Mujai, Kunen Tinggi dari Tumbang Malahoi, Kena Rasa dari Tumbang Miri, Runan dari Mambaruh (Kalimantan Barat), Lasri dan Lomoh serta Luber dari Tumbang Lapan, Luwi Mihing dari Putat, Sahadan Inin dari Tumbang Jalemu, Teluk Silai dari Tumbang Rahuyan dan seorang lagi tidak diketahui namanya.
Pasukan GRRI berangkat dari Desa Tewah tanggal 20 Agustus 1949.
Dalam perjalanannya pasukan disusul oleh Minun Dehen seorang pemuda dari Sungai Dahuyan dekat Desa Tumbang Talaken yang tidak terpilih menjadi pasukan dan bergabung dengan regu yang dipimpin oleh Kapten II Muller. Oleh karena tidak memiliki senjata, maka Tanggara memberikan kepada Minun Dehen 3 buah granat rakitan.
Pada tanggal 24 Agustus 1949, pasukan KNIL memasuki Danau Mare dengan menggunakan perahu. Ketika pasukan KNIL mendekat, Minun Dehen yang berada diatas pohon Karahuang yang tumbuh di tepi Danau Mare dengan gerakan spontan menjatuhkan granatnya kearah perahu. Namun granatnya tidak mengenai sasaran, sehingga Minun Dehen ditembaki secara bertubi-tubi oleh pasukan KNIL , sehingga jatuh ke tanah dengan granat di tangan meledak dan merobek-robek badannya sendiri hingga meninggal.
Pertempuran tidak bisa dielakkan lagi, Samudin Aman yang berada dekat pohon yang dinaiki Minon Dehen terkena bidikan peluru, namun tidak cedera karena kesaktian yang dimilikinya. Pada pertempuran itu menurut keterangan Hernous Sada dari GRRI hanya Minon Dehen yang tewas, sedangkan dari pasukan KNIL 12 Orang dimakamkan di Tumbang Samba, 1 orang di Kasongan dan 4 Orang di bawa ke Sampit. Pertempuran danau Mare berlangsung sekitar 3 Jam, namun pertempuran tersebut menunjukan bahwa dengan kesungguhan hati maka musuh dapat dihadapi.
Untuk menghormati Minon Dehen pada tanggal 17 Agustus 1952 masyarakat Kota Tumbang Samba yang terdiri dari Desa Samba Danum, Samba Kahayan, Samba Katung, dan Samba Bakumpai mengadakan upacara Tewah untuk menyempurnakan Jasadnya dan mendirikan Sandung yang terletak di Kota Tumbang Samba.
Referensi :
Lisan Bue Cristoffel Binti
-Abdul Fatah Nanan, “Pertempuran Danau Mare”
-Ahim S. Rusan ,2006 . Sejarah Kalimantan Tengah
-Yansen A. Binti. Merajut Sejarah Perjuangan perang gerilya Mempertahankan kemerdekaan RI di Daerah Dayak Besar (Kini Kalimantan Tengah) (tim)