Palangka Raya, JurnalBorneo.co.id – Tri Joko Sungkono melaporkan perusahaan tempatnya pernah bekerja yang bergerak dalam bidang pertambangan Bauksit ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalteng, Rabu (11/6/2024) pagi.
Perusahaan itu adalah PT. Indonesia Batubauksit Bajarau (IBB) selaku pemegang IUP pertambangan Bauksit yang terletak di Kecamatan Parenggean Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dan PT. Awanni Benua Mutiara (ABM) selaku kontraktor pertambangan dari PT. IBB.
Selain itu dia juga melaporkan 2 orang pengurus perusahaan yakni Syawal selaku Penanggung Jawab Operasional (PJO) dan Anas selaku Health, Safety, and Environment (HSE) officer.
“Perusahaan dengan terang-terangan dan berani melanggar ketentuan yang ditetapkan pemerintah mengenai ketenagakerjaan,” kata Tri Joko Sungkono seusai melapor.
Dia mengaku turut melaporkan PT. IBB selaku pemegang IUP dengan alasan PT. IBB tidak mungkin tidak tau terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi. Diduga PT. IBB justru sengaja mendiamkannya, seolah-olah tidak pernah hal itu terjadi.
Kepada para wartawan, dia mengungkapkan sekurangnya ada lima permasalahan dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dia laporkan. Permasalahan-permasalahan tersebut juga dialaminya sendiri.
Pertama, penggajian PT. ABM di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Kotim sebesar Rp 3.341.890. Karyawan hanya terima Rp 100 ribu per hari.
“Gaji sebesar itu tidak masuk akal sedangkan mereka perusahaan tambang. Ternyata gaji yang kami terima sebagai karyawan kalah besar dari PBS kelapa sawit,” katanya.
Kedua, karyawan bekerja 7 hari non stop mulai hari Senin sampai Minggu dengan waktu kerja 8 jam per hari dan malam harinya wajib lembur. Bila tidak bekerja maka gajinya dipotong. Kemudian pada tanggal merah atau libur nasional wajib masuk kerja.
Ketiga, upah lembur dibayar rata (flat) mulai dari jam pertama sampai seterusnya dengan nilai Rp10 ribu per jam. Keempat, tidak ada cuti kerja kecuali karyawan mau istirahat setelah 2 bulan kontrak kerja. Itu pun tanpa ada pembayaran upah
“Yang terakhir, perusahaan tidak membayarkan uang kompensasi putus kontrak. Itu yang saya alami,” tegas pria yang bekerja sebagai washing plant atau pabrik pencucian di PT. ABM itu.
Dia menduga PT. ABM telah melanggar Pasal 1 angka 7, Pasal 13 huruf f dan Pasal 16 ayat 1 huruf a-c Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2O2I Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Kemudian, Pasal 88 dan Pasal 79 ayat 1, 3, 4 dan 5 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam kesempatan itu, dia mengakui jika saat ini dirinya bukan lagi karyawan PT. ABM. Kontrak kerjanya tidak diperpanjang lagi karena pernah mengusulkan supaya hari Minggu karyawan libur
“Saya berharap Disnakertrans Kalteng dapat segera menindaklanjuti laporan ini dengan turun langsung ke perusahaan agar praktik-praktik pelanggaran peraturan perundang-undangan tenaga kerja dapat secepatnya diakhri demi kesejahteraan karyawan,” pungkasnya.
Sementara itu, Anas selaku HSE officer saat dikonfirmasi melalui panggilan Whatsapp membenarkan karyawan bekerja selama 7 hari mulai Senin sampai Minggu dengan alasan mengikuti owner (pemilik) yang waktu kerjanya sama.
“Sebelum penandatanganan kontrak kerja telah ada pemberitahuan kepada calon karyawan bahwa hari kerja dari Senin sampai Minggu karena kami mengikuti owner yang jam kerjanya dari Senin sampai Minggu,” katanya.
Di sisi lain dia menolak pernyataan yang menyebut gaji dipotong bila tidak masuk kerja. Menurutnya, bukan dipotong tetapi tidak diberi. “Kami tidak ada pemotongan gaji tapi pada saat masuk kerja dihitung ada sedangkan tidak masuk kerja, iya tidak ada hitungan gaji/upahnya,” terangnya.
Dia pun menolak pernyataan yang mengatakan karyawan tetap wajib masuk kerja meski libur nasional. “Setau saya pas hari libur keagamaan ya libur, ini pun saya dengar tanggal 17 Juni ini libur. Itu sepengetahuan saya pak. Kalau sebelumnya saya nggak tau pak,” ucapnya.
Untuk pertanyaan mengenai tidak adanya kompensasi putus kontrak kerja, dia tidak mau menjawab karena menurutnya yang berhak menjawab adalah PJO sebagai atasannya. (fer)