JAKARTA, jurnalborneo.co.id-Tahun 2020 menjadi tahun keperihatinan seluruh masyarakat Indonesia. Tahun 2020 menyisakan sejumlah persoalan yang membutuhkan perhatian seluruh komponen bangsa. Kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi. Begitu juga dengan upaya membungkam kebebasan pers dan menyampaikan pendapat. Situasi semakin rumit karena bangsa ini juga dilanda pandemi. Pandemi covid-19 menjadi cobaan yang berat karena hingga saat ini belum ada kepastian kapan akan berakhir.
Dalam siaran pers yang ditandatangani Pengurus Pusat Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana, Ketua Umum, dan Indria Purnama Hadi Sekjen pada tanggal 31 Desember 2020, ada sejumlah cacatan dalam refleksi akhir tahun yakni, adanya ancaman kebebasan pers dan berekspresi
Ancaman kebebasan pers tampak jelas melalui sejumlah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bersama legislatif. Salah satunya adalah revisi sejumlah pasal dalam Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers melalui program Omnibus Law. Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) menjadi salah satu organisasi profesi yang paling keras menentang upaya revisi ini. Hal itu dikarenakan revisi beberapa pasal dalam UU Pers disusun tanpa melibatkan para insan pers.
Dalam revisi tersebut dimasukkan sanksi perusahaan pers yang bisa diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP). Upaya – upaya seperti ini berpotensi menjadi ancaman bagi kebebasan pers melalui regulasi yang dibuat oleh pemerintah.
Selain Omnibus Law sejumlah pasal di KUHP juga menjadi polemik. Pasal tambahan yang dimasukan berpotensi menjadi ancaman bagi kebebasan pers dan berekspresi di tanah air. Pasal multitafsir diantaranya, terkait penghinaan terhadap pemerintah dan berita tidak pasti serta hasutan, sangat rawan digunakan sebagai alat kekuasan untuk membungkan kebebasan pers dan ekspresi.
Keberadaan pasal ini nyata menjadi ancaman bagi kebebasan pers dan berekspresi. Jika kebebasan pers tidak bisa dijaga dengan baik maka akan rusaklah demokrasi di tanah air
Untuk itu, IJTI melakukan sejumlah upaya agar revisi terkait UU Pers melalui Omnibus Law tidak dilaksanakan. Diantaranya melalui lobby di DPR dan desakan ke berbagai pihak. IJTI menggalang petisi dengan berbagai organisasi pers untuk bersama sama menolak revisi UU Pers melalui Omnibus Law.
Kemudian kekerasan terhadap jurnalis, di mana sepanjang tahun 2020 diwarnai sejumlah kekerasan terhadap para jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya. Kekerasan ini terjadi di berbagai penjuru tanah air. Catatan IJTI ada lebih dari 25 kasus kekerasan yang menimpa para jurnalis dari berbagai media baik televisi, cetak, online dan radio.
Kekerasan yang menimpa para jurnalis paling banyak terjadi saat meliput unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja. Sedikitnya ada 18 jurnalis yang mengalami kekerasan. Sebagian besar pelaku kekerasan adalah aparat kepolisian.
IJTI secara konsisten melakukan berbagai langkah untuk menyelesaikan kekerasan yang kerap menimpa para jurnalis. Advokasi dan langkah hukum terus dilakukan. Beberapa kasus didorong diselesaikan secara hukum. Kendati proses hukum yang terkait anggota kepolisian cukup lambat.
Kedepan IJTI terus mendorong agak semua pihak ikut hadir terutama negara memberikan jaminan dan rasa aman bagi para jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya.
Kemudian Pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pada pertengahan Maret 2020 pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Dalam hitungan bulan wabah menyebar ke berbagai pelosok negeri. Jurnalis Televisi yang berperan menyampaikan informasi menjadi salah satu yang rentan terpapar virus ini. IJTI melakukan berbagai langkah agar jurnalis televisi tetap selamat dalam menjalankan tugasnya di tengah pandemi. Upaya yang dilakukan di antaranya menyusun panduan singkat terkait mitigasi peliputan pandemi bagi para jurnalis. IJTI bersama sejumlah institusi juga mengupayakan menyediakan sejumlah peralatan pelindung bagi para jurnalis yang bertugas.
Dan terakhir, jurnalisme positif. Menurut IJTI, jurnalisme Positif menjadi salah satu prinsip yang terus digaungkan oleh IJTI. Terlebih di tengah situasi yang tidak menentu seperti saat ini. Jurnalis televisi harus mampu menyampaikan informsi yang mencerahkan dan membangun optimisme masyarakat agar terhindar serta bangkit dari krisis pandemi. ist









