Catatan dari Ragunan.
Ketika Menteri Pertanian Amran Sulaiman Mengundang Mahasiswa Berdebat
Siang itu (Senin, 24/2) ruang kerja Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang tidak terlalu luas penuh sesak. Dua puluh kursi yang biasanya digunakan untuk menerima tamu, kini dipenuhi mahasiswa. Amran duduk di antara mereka. Deretan kursi tambahan yang disediakan di belakang kursi-kursi tamu tersebut juga dipenuhi mahasiswa dan beberapa pejabat Kementerian Pertanian. Beberapa staf yang tidak kebagian kursi rela berdiri demi menyaksikan momen langka ini. Sebagian lainnya tidak bisa masuk karena ruangan sudah penuh.
Para mahasiswa ini adalah utusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia. Ada lebih dari 30 mahasiswa. Mereka sebelumnya menjadi peserta Forum Diskusi Kementerian Pertanian dengan Perguruan Tinggi di Auditorium Kementan yang dihadiri Menristekdikti dan pengurus perguruan tinggi negeri dari seluruh Indonesia. Setelah acara usai, Menteri Amran mengajak para mahasiswa berdialog langsung di ruang kerjanya.
Debat Panas tentang Kesejahteraan Petani
“Silakan bertanya setajam-tajamnya dan sekritis-kritisnya. Saya akan jawab,” tantang Menteri Amran Sulaiman, yang juga Dosen Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.
Shabbarin Syakur, dari BEM Fakultas Pertanian Universitas Andalas, langsung mengajukan kritik tajam. Menurutnya, di saat pemerintah gencar mengejar swasembada pangan, banyak petani di Sumatera Barat justru kesulitan memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. “Ini bukan opini saya, Pak. Ini berdasarkan data BPS,” ujarnya dengan penuh semangat. Mahasiswa lain bertepuk tangan. Mahasiswa semester 6 ini menyoroti, menurunnya kesejahteraan petani berdampak pada kian menurunnya jumlah petani dan rendahnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian.
Menteri Amran menyimak dengan serius kritikan yang disampaikan dengan lantang dan berapi-api itu. Ia lalu melempar pertanyaan singkat kepada Shabbarin, “Tahu NTP?”
Dengan sedikit ragu, Shabbarin menjawab tidak.
Menteri Amran segera meminta stafnya menampilkan data Nilai Tukar Petani (NTP) di layar besar yang ada di ujung ruang tamu “Kita diskusi berdasarkan data, bukan asumsi-asumsi ya, Nak” ujarnya sembari menunjuk layar yang menampilkan langsung hasil penelusuran di internet. Data BPS menunjukkan bahwa NTP pada Januari 2025 mencapai 123,68 atau naik 0,73 persen dibandingkan sebelumnya. Amran kemudian meminta staf menelusuri data hingga 10 tahun ke belakang. Pada Desember 2014, NTP nasional masih 101,32. Menurut Menteri Pertanian, NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani. NTP menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Pertumbuhan NTP merupakan indikasi meningkatnya kesejahteraan petani. “Pemerintah Presiden Prabowo serius berupaya meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satunya melalui kebijakan menaikkan HPP gabah dari Rp6.000 menjadi Rp6.500 per kilogram serta pengawasan ketat melalui Satgas Pangan”, tegas Amran Sulaiman. HPP adalah Harga Pembelian Pemerintah.
Menanggapi kekhawatiran berkurangnya jumlah petani, Menteri Pertanian justru menekankan, berkurangnya jumlah petani merupakan indikator kesuksesan transformasi menuju pertanian modern. “Dulu, satu hektar sawah dikerjakan 25 petani dalam 25 hari. Dengan mekanisasi, satu hektar kini bisa digarap hanya oleh satu petani dalam dua jam. Biaya produksi turun drastis, sementara produktivitas meningkat.” paparnya.
Menjawab Kritik Mahasiswa IPB tentang Merauke
Sebelum menyampaikan kritik, Afif Fahreza dari IPB, lebih dulu menyampaikan dokumen rekomendasi dari BEM IPB untuk pembangunan pertanian. Amran memintanya untuk duduk di sebelahnya. Salah satu poin yang disampaikannya ke Mentan adalah pembukaan lahan sawah di Merauke, yang menurutnya lebih banyak dikerjakan oleh pendatang dibandingkan masyarakat lokal.
Menanggapi hal itu, Menteri Amran langsung menayangkan video dokumentasi proyek cetak sawah serta pengerjaan lahan sawah yang sudah jadi di Merauke. “Cermati baik-baik, siapa yang menggarap lahan ini? Apakah benar pendatang?” tantangnya. Rekaman video tersebut juga memperlihatkan kutipan wawancara Menteri Amran Sulaiman dengan Matius, petani milenial lokal yang tergabung dalam Brigade Pangan Milenial di Merauke. Matius menjelaskan ia mendapat penghasilan Rp 15-Rp 20 juta per bulan dari operasional alat dan mesin pertanian bantuan pemerintah di lahan sawah yang digarap Brigade Pangan Milenial. “Ini bukan rekayasa, saya tanya langsung dia di lapangan” tegas Amran. “Kalau masih ragu, ayo kita ke Merauke bersama. Jangan hanya percaya pada opini pengamat, LSM, atau bahkan pemerintah sekalipun, tanpa verifikasi langsung.”
Dukungan untuk Petani Muda
Alwi, mahasiswa Instiper Jogjakarta. Dia diminta Mentan untuk duduk di sebelahnya, menggantikan posisi Afif. Berbeda dengan Afif yang tampak serius dan rapi dengan jaket dan dasi, Alwi yang menggunakan jaket almamater, tampak lebih kasual. Gondrong, kurus dengan muka ramah.Sebelum bertanya, dia memperkenalkan diri bahwa selain kuliah, dia juga bekerja sebagai sopir mobil rental dan bertani cabai. Mendengar ini Amran langsung memotong:
“Kamu serius bertani, Nak? Berapa hektar lahan yang kamu garap?”
“40 kali 40 meter persegi, Pak”, jawab Alwi mantab.
Mentan tampak terkesiap.
“Apa pekerjaan ayahmu?”
“Buruh tani, Pak”, tegas Alwi.
Ruangan seketika hening. Mata Amran tampak sedikit berkaca. Namun ada ekspresi bangga.
“Kamu pendekar, Nak” ujarnya dengan penekanan khusus pada kata pendekar. Amran berpaling ke Direktur Alat Mesin Pertanian yang di duduk di deretan kursi belakang di seberangnya. “Tolong berikan dia satu traktor tangan. Gunakan baik-baik, Nak, agar kerjamu lebih efisien, hasil panen meningkat dan kamu segera lulus. Ini bantuan dari pemerintah. Uang negara. Gunakan baik-baik,” tegasnya.
Namun, Alwi belum selesai. “Pak, tadinya saya ingin menyampaikan kalau di tanaman cabai, ada virus gemini yang susah dibasmi. Saya sudah menemukan caranya dengan ramuan…”
“Stop-stop-stop. Jangan ceritakan itu di sini. Urus hak patennya, kalau memang itu temuanmu dan belum ada yang mematenkan. Itu bisa jadi sumber penghasilan besar,” tegas Amran. Ia pun meminta Kepala BSIP Kementerian Pertanian untuk membantu Alwi mengurus paten jika memang belum ada yang mematenkan.
Sebelumnya, Menteri Amran sempat berbagi kisah hidupnya yang berasal dari keluarga miskin dan sering dihina karena kemiskinannya. Ia mengawali karir dengan menjadi tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Namun, dia tidak pernah berhenti bekerja keras. Dia menemukan formula racun tikus yang kemudian dipatenkan. “Saat pertama kali mendapat royalti Rp200 miliar dari paten racun tikus saya, saking gembiranya saya setengah berlari sampai menabrak dinding kaca. Tidak terasa sakit karena gembira,” kenangnya sambil tertawa. Kini, ia memiliki empat hak paten di bidang pertanian dengan banyak perusahaan yang bernaung di bawah holding Tiran Group. Tiran singkatan dari “tikus mati diracun Amran”.
Dari Diskusi ke Aksi Nyata
Gregorius Umbu Neka dari Universitas Nusa Cendana NTT, menyampaikan bahwa petani di daerahnya kesulitan bercocok tanam karena tidak ada irigasi. Menteri Amran langsung bertanya, “Ada sumber air di dekat sana?”
“Ada, Pak,” jawab Gregorius.
“Kalau kami berikan pompa air, apakah kamu siap memasangnya dan menyalurkan air ke lahan petani?”
“Siap, Pak!”
Tanpa ragu, Menteri Amran langsung menginstruksikan Direktur Alsin untuk mengirimkan dua unit pompa air melalui mahasiswa tersebut. “Sekarang saatnya kerja nyata. Kalau ada masalah di lapangan, laporkan langsung ke kami. Tak perlu terlalu banyak formalitas,” pesannya. Ada beberapa mahasiswa lain yang mendapat giliran menyampaikan kritik dan bertanya. Dalam forum ini, Menteri Amran tak hanya mendengar atau pun membantah kritik, tetapi juga memberi solusi konkret. Ia ingin mahasiswa tidak hanya berdiskusi, tetapi juga bergerak untuk memajukan pertanian Indonesia. Sebuah diskusi yang bukan sekadar debat, melainkan titik awal perubahan nyata.
Imam Wahyudi (iwahyudi@icloud.com)