Jakarta, Jurnalborneo.co.id – Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana, meminta DPR-Pemerintah menunda pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang saat ini sedang digodok oleh DPR bersama pemerintah.
“Masih ada 10 pasal dalam draf RUU KUHP yang bisa mengkriminalkan jurnalis dalam menjalankan fungsinya. Mulai dari Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden,” sebut Yadi Hendriana memberi argumen kenapa IJTI begitu keras meminta penundaan pembahasan RUU KUHP tersebut.
Dijelaskan Yadi, pasal lainnya yang rentan menghambat kerja kerja pers adalah, Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa, Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong dan Pasal 263 tentang berita tidak pasti.
Selain itu, lanjut Ketum IJTI dua periode ini, ada juga Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan, Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, Pasal 440 tentang pencemaran nama baik serta Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.
“Setelah mendapat protes luas, draft itu mengalami sedikit perubahan pada Pasal 281,” ujar Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana kepada Jurnalborneo.co.id, Kamis (9/4/2020).
Yadi menuturkan, IJTI dan AJI mengeluarkan sikap terkait pembahasan draf RUU KUHP tersebut :
1. Mendesak DPR dan pemerintah untuk menunda pembahasan RUU KUHP di tengah wabah Covid-19. Termasuk menunda RUU-RUU lainnya yang bermasalah seperti RUU Cipta Lapangan Kerja.
Dengan banyaknya pembatasan di tengah pandemi saat ini akan menyulitkan masyarakat sipil, termasuk komunitas pers, ikut memberikan masukan secara maksimal dalam pembahasan RUU tersebut.
2. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak menerbitkan surat presiden baru yang dapat menjadi dasar kelanjutkan pembahasan RUU KUHP.
3. Meminta pemerintah dan DPR fokus pada penanganan Covid-19 yang telah menelan korban jiwa dan berdampak besar pada perekonomian nasional. Membahas RUU yang bermasalah di tengah pandemi Covid-19 hanya akan membuat energi bangsa ini terpecah dan melemahkan penanganan yang dapat memicu dampak lebih luas di masyarakat.
“Melihat draf RUU KUHP tersebut, DPR dan pemerintah tidak hanya mengabaikan masukan masyarakat sipil dengan mempertahankan pasal-pasal yang selama ini banyak dikritik. Keduanya juga menghidupkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006,” tandas Ketum IJTI.
Sementara itu, Komisi III DPR dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sepakat melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dalam rapat kerja Rabu, 4 April 2020 lalu.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sempat mengatakan bahwa pimpinan komisi III DPR meminta waktu satu pekan untuk mengesahkan RUU KUHP. Namun Ketua Komisi III DPR Herman Herry kemudian meluruskan pernyataan Azis dan menyatakan bahwa Komisi III hanya meminta persetujuan pimpinan DPR untuk memulai pembahasan RUU KUHP pada awal April 2020.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly meminta DPR menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan surat presiden yang baru. Yasonna khawatir RUU KUHP yang akan disahkan akan bermasalah pada masa mendatang jika tidak ada surat presiden.
RUU KUHP merupakan satu dari sejumlah RUU yang gagal disahkan pada penghujung masa kerja DPR periode 2014-2019 setelah mendapatkan protes besar dari mahasiswa dan masyarakat sipil, September tahun lalu. Protes tersebut memicu protes luas masyarakat di Jakarta dan sejumlah daerah di Indonesia, dan menyebabkan setidaknya 5 mahasiswa meninggal. (imm)