SAAT ini, kita melihat kesempatan perempuan untuk bekerja jauh lebih terbuka disbanding bebrapa decade lalu. Kini kita banyak menemui perempuan bekerja baik pada sector formal maupun informal. Namun, tak jarang juga banyak beberapa perusahaan yang masih enggan untuk mempekerjakan perempuan. Mereka memandang bahwa perempuan hanya diorientasikan untuk melakukan pekerjaan domestic saja atau bisa dibilang hanya melakukan pekerjaan rumah saja.
Namun, di Indonesia sebagai negara yang menganut system demokrasi, harusnya pilihan seseorang untuk bekerja, baik itu laki-laki maupun perempuan, menjadi hak asasi bagi dirinya. Tapi, akibat konstruksi gender yang masih bias, perempuan sering menjadi pihak yang didomestifikasi.
Meskipun perempuan dapat terjun ke dunia kerja, mereka masih dihadapkan dengan perlakuan yang diskriminatif, mulai dari segi upah, bidang pekerjaan, bahkan sampai level jabatan pun masih dominan laki-laki daripada perempuan.
Sebagaimana temuan Sakernas pada tahun 2019, upah perempuan 23% lebih rendah disbanding laki-laki, posisi strategis masih didominasi laki-laki (63,37%), perlindungan pekerjaan yang belum optimal, hingga menjadi pihak yang rentan mengalami kekerasan seksual, terutama pada sector non formal (ksbsi.org 2020).
Kemudian data dari Sakernas, BPS pada tahun 2020 menunjukkan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan memiliki bekal ijazah sarjana, rata-rata perempuan hanya mendapatkan gaji sebesar Rp3,7 juta, sedangkan laki-laki bisa mendapatkan gaji sampai Rp5,4 juta.
Perempuan yang memiliki bekal ijazah SMA rata-rata hanya berpenghasilan Rp2,1 juta, sedangkan laki-laki rata rata mendapatkan penghasilan Rp3 juta. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh seseorang tidak selalu cukup untuk mewujudkan kesetaraan upah. Data ini memperlihatkan kontradiksi dengan komiteman Indonesia mengenai kesetaraan pengupahan bagi pekerja. Padahal sudah sejak tahun 1957, pemerintah meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Dunia (ILO) No. 100/1951 tentang Pengupahan yang Sama bagi Pekerja Laki-Laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (menlead.magdalene.com).
Dunia kerja yang belum sepenuhnya terbuka dan adil terhadap perempuan, menjadi isu utama terkait dengan hak perempuan di lingkungan kerja. Untuk menyikapi hal tersebut, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, menegaskan bahwa, laki-laki dan perempuan yang bekerja memiliki kesetaraan yang sama dan harus dihargai bukan berdasarkan gender, melainkan berdasarkan bakat, hasil kerja, dan kompetensi (Karunia, 2020).
Nah, berdasarkan data-data yang ada, sejumlah dunia pekerjaan masih diidentikkan dengan gender tertentu, salah satuya adalah di bidang sains dan teknologi. Beberapa diantaranya masih beranggapann bahwa dunia tersebut lebih cocok untuk laki-laki dengan alas an bahwa laki-laki memiliki kompetensi yang lebih, logis, dan daya resiliensi lebih tinggi daripada perempuan.
Namun, beberapa fakta yang terjadi di Indonesia mematahkan stereotip pembagian bidang kerja berdasarkan gender. Seperti contohnya sosok Herawati Sudoyo, seorang ilmuwan di Ejikman Institute yang membuktikan bahwa gender tidak menjadi hambatan untuk terjun di dunia sains khususnya ilmu hayati. “Kalau bicara mengenai dunia penelitian, sebenarnya itu bukan dunia laki-laki. Perempuan dan laki-laki sama di sana, apalagi di bidang biologi molekuler (bidang yang digeluti oleh Herawati). Tetapi, seperti juga di tempat lainnya, dunia sains kompetitif sekali. Susahnya bagi perempuan adalah, kta sama-sama mulai, tapi di tengah jalan, perempuan bisa melambat karena menjalani peran ganda(sebagai peneliti dan puya tuntutan tanggung jawab domestic)”, kata Herawati (menlead.magdalene.com). *)
*) Oleh : Wulan Cahyani, Mahasiswi Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri. (Red).