PALANGKA RAYA, Jurnalborneo.co.id – Sejak satu minggu belakangan ini, banyak kalangan memprediksi Pilgub Kalteng hanya akan diikuti dua pasangan calon (paslon) atau yang dikenal dengan head to head.
Bila diamati, Pilgub Kalteng tanggal 9 Desember 2020 yang akan datang memiliki fenomena yang unik bila dibandingkan dengan Pilgub Kalteng 27 Januari 2016 lalu.
Keunikan yang pertama, dapat dilihat dari jumlah konstestan peserta pilgub yang konsisten berjumlah dua dan dikenal dengan istilah “Head to Head”. Jika pada tahun 2016 yang bersaing pasangan Sugianto Sabran-Habib Said Ismal dan Willy M. Yoseph-Wahyudi K. Anwar maka di tahun ini antara pasangan Sugianto Sabran-Edy Pratowo dan Ben Brahim-Ujang Iskandar.
“Pengkondisian” dua pasang ini sekarang menjadi trend, sepertinya mengikuti Pemilihan presiden yang dua periode hanya diikuti dua pasang. Bagi sebagian besar kalangan dan pengamat politik, kondisi ini dianggap mengganggu iklim demokrasi. Mereka menginginkan agar persyaratan minimal jumlah kursi dan suara partai politik pengusung ditiadakan sehingga pilpres dan pilkada dapat diikuti banyak paslon dan rakyat memiliki banyak pilihan.
Keunikan kedua, partai politik pendukung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang mengalami perubahan dukungan. Bila pada periode pertama pilgub Kalteng, Gubernur petahana Sugianto Sabran didukung lima partai yakni Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN dan PKB.
Maka pada periode kedua pertarungan pilgub tahun ini, Gerindra, Demokrat dan PAN pecah kongsi hanya Golkar dan PKB yang tetap setia mendukung. Sedangkan PDIP yang pada tahun 2016 tidak mendukung, justru tahun ini menjadi partai pengusung dengan jumlah kursi terbanyak di DPRD Kalteng yakni 12 kursi.
Fenomena pindah dukungan dari partai politik ini bisa ditafsirkan macam-macam tergantung maksud dan tujuan serta arah keberpihakan pasangan calon. Bagi penulis, fenomena ini menunjukkan bahwa partai politik di negara kita tercinta ini bukanlah partai kader. Periode ini mengusung si A namun di periode berikutnya bisa mengusung si B, si C dan lainnya.
Dengan kondisi ini maka jangan heran jika kita melihat ada seseorang yang pada masa pendaftaran calon kepala daerah, menyatakan dirinya kader partai yang dilamar. Tetapi begitu tidak diusung, si calon gagal ini justru dengan lantang mendukung paslon dari parpol yang lain. Bahkan menghujat, seperti membalas kekecewaannya.
Fenomena itu pun marak terjadi pada pemilihan legislatif DPR RI, DPR Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Lima tahun pertama maju dari partai A, periode kedua maju dari partai B,C,D begitu juga pada periode berikutnya. Ada juga yang kembali ke parpol A setelah berkali-kali pindah parpol.
Atas fenomena tersebut, jangan heran dan tersinggung jika ada yang menyimpulkan bahwa demokrasi negara kita sekarang ini disebutkan hanya menjadikan rakyat sebagai objek demokrasi. Sebatas pemilih dan jumlah suara saja. Muaranya, frasa “Wani Piro” menjadi senjata andalan pemilih. Wow. (fer)