Palangka Raya, JurnalBorneo.co.id – Pasangan suami istri (Pasutri) asal Desa Maluen Kecamatan Basarang, Kabupaten Kapuas, Kalteng, Amat Pamuji dan Etsa Akat melaporkan manajemen PT GAL ke Damang Kapuas.
Pasalnya, oknum manajemen Perusahaan Besar Swasta (PBS) bidang perkebunan sawit tersebut dinilai telah melakukan tindakan semena-mena kepada pasutri ini.
Adapun yang dilaporkan adalah Manager F2 Lamunti berinisial HS dan FK selaku HRD PT GAL.
“Oknum manajemen tersebut telah mengusir pasutri klien kami dari tempatnya biasa berdagang dengan semena-mena,” kata Pua dalam siaran persnya yang diterima media ini di Palangka Raya, Senin (4/3/2024) pukul 15.22 WIB.
Pua menjelaskan, kejadian pengusiran terjadi pada 21 Mei 2023. Pasutri Amat Pamuji dan Etsa Akat yang sejak lama biasa berdagang di area perusahaan dilarang berjualan dan diminta untuk pindah ke tempat lain.
Bukan hanya itu saja, oknum manajemen juga mengimbau seluruh buruh/karyawan agar memboikot berbelanja ke tempat usaha pasutri itu.
“Kebijakan itu mematikan usaha berjualan klien kami. Tindakan itu menunjukkan ketidakberpihakan kepada warga/penduduk setempat,” ucap pengaca senior ini.
Menurutnya, kliennya tidak pernah melakukan tindakan yang merugikan perusahaan maupun tindakan tercela selama berdagang. Justru sebaliknya, keberadaan pasutri ini sangat membantu para buruh/karyawan dalam mendapatkan kebutuhan sehari- hari.
“Usaha berdagang kecil-kecilan yang dilakukan pun sudah berlangsung lama yakni sejak manager/kepala kebun yang dijabat pejabat sebelumnya,” terangnya.
Kemudian, sambung Pua, pasutri ini melaporkan persoalannya/mengajukan gugatan perbuatan pengusiran kepada Mantir Adat dan Damang Kecamatan Dadahup.
Karena tidak sesuai yang diharapkan, kliennya mengajukan keberatan perbuatan oknum perusahaan ke jenjang yang lebih tinggi ke Damang Koordinator Kabupaten Kapuas pada 16 Februari 2024.
Sayangnya, pelaporan ke Damang Koordinator Kabupaten Kapuas sampai saat ini tidak ada juga mengeluarkan satu keputusan. Hal ini membuat pasutri Amat Pamuji dan Etsa Akat selaku pelapor meradang dan bermaksud mencabut laporannya.
Menurut Pua, maksud pelaporan pasutri itu ke lembaga adat adalah agar dicari hukum adatnya terhadap tindakan cara pengusiran secara tidak manusiawi oleh oknum manajemen perusahaan.
“Kami berharap tindakan pengusiran semena-mena tersebut bisa diputus hukum adat dengan merujuk 96 Pasal dari Perjanjian Toembang Anoei 1894,” tegas Pua Hardinata.
Lebih lanjut, pengacara yang dikenal luas telah beberapa kali membebaskan kliennya dari jeratan hukum baik perkara pidana umum atau Tipikor ini menyampaikan, kliennya juga pernah melaporkan tindakan pengusiran perusahaan kepada salah satu oknum anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tujuannya untuk menyelesaikan permasalahan itu.
Namun, bukannya penyelesaian yang didapat. Justru malah menambah permasalahan. Salah satunya persoalan dugaan pemalsuan nama dan tandatangan seseorang oleh oknum tersebut.
Disebutkannya, oknum itu juga tidak pernah melaporkan hasil mediasi maupun kesepakatan dengan perusahaan kepada pasutri ini.
“Tindakan oknum tersebut semakin membuat klien saya lebih terpuruk lagi sebagai pedagang dalam mencari kebenaran dan memperjuangkan nasibnya,” ujar Pua.
Akhirnya pasutri ini didampingi Pua Hardinata selaku Kuasa Hukum melaporkan oknum anggota LSM itu ke Polres Kapuas. (fer)